Jurnal Hukum

Thursday, May 29, 2008

TINJAUAN YURIDIS UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS



BAB I
LATAR BELAKANG


I.I Pendahuluan

kemerdekaan pers (atau sering juga disebut dengan kebebasan pers) di Indonesia yang berlaku semenjak reformasi bergulir telah meninggalkan efek, baik positif maupun negatif di masyarakat. Kemerdekaan pers dikatakan positif, karena pers yang yang merdeka seperti yang kita rasakan hari ini memanjakan masyarakat sebagai user informasi dengan informasi-informasi penting yang di zaman orde baru mustahil dikonsumsi publik secara terbuka. Dampaknya, salah satunya, ruang bagi pengambil kebijakan untuk membohongi publik demi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok, tidak lagi terbuka lebar. Sebaliknya, kemerdekaan pers yang belaku hari ini (orang juga sering menyebutnya sebagai kebebasan pers yang kebablasan) secara faktual seringkali memosisikan dirinya sebagai hakim bahkan eksekutor atas berita-berita yang dilansirnya, trial by press. Orang yang terberitakan acap kali menjadi bulan-bulanan pemberitaan pers yang belum tentu terjamin kebenarannya. Seringkali, atas nama kebebasan pers, sebuah media massa begitu digdaya di tengah lemahnya orang atau pejabat publik yang diberitakannya.

Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Sebelum reformasi, meskipun telah ada pernyataan bahwa kemerdekaan dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD1945, namun masih sebatas janji, karena bergantung pada undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Pada era reformasi, pasca dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan akan kebebasan berpendapat baru secara eksplisit dijamin dalam konstitusi. Pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Seperti yang telah kita ketahui, UU No 40 Tahun 1999 mengawali masa baru dunia pers Indonesia, yaitu masa kebebasan Pers di Nusantara. UU ini benar-benar membawa perubahan yang besar karena dikeluarkan setelah pers melalui era kepemimpinan otoriter dimana kebebasan pers benar-benar tunduk dibawah pemerintahan yang berlaku. Sebelum UU ini keluar, aturan untuk menerbitkan suatu media pemberitaan sangatlah ketat. Belum lagi adanya pengawasan penuh pemerintah terhadap isi pemberitaan yang dapat mengakibatkan dibrendelnya suatu media hanya karena artikel dari media tersebut dinilai tidak berpihak kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Tidak heran, jika kemudian pihak pers menyambut antusias UU ini. Melalui UU No. 40 tahun 1999 ini, diharapkan dunia pers Indonesia dapat berkembang dengan lebih baik, demokratis, dan kredibel karena tidak berpihak pada kelompok tertentu, termasuk pemerintah, atau dengan kata lain pers diharapkan mampu bersikap netral.

Namun penerapan UU Pers di tataran hukum Indonesia tidak seperti yang diharapkan, banyak pro dan kontra yang terjadi di masyarakat. Perdebatan apakah UU Pers dapat digunakan sebagai lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu. Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah. Jurnalis dari beberapa media memang dijerat dengan pasal-pasal pidana dalam KUHP, khususnya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan akibat berita yang ditulisnya. Hal itu, ditambah dengan "hujan" gugatan perdata pada media, menyentakkan kalangan pers.



I.II Pembatasan Masalah

  • Layakkah UU no 40/1999 Tentang Pers sebagai "Lex Speciali" ?
  • Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU pers ?




BAB II
PEMBAHASAN



II.I Tepatkah UU Pers sebagai Lex Specialis
Di dunia hukum ada adagium yang mengatakan hukum yang bersifat khusus akan menggantikan hukum yang bersifat umum. Atau sering disebut Lex specialis derogat legi generali. Artinya, setiap hukum yang memang mengatur suatu masalah secara khusus dan mendalam, maka akan menggantikan hukum yang telah dipakai namun bersifat umum.

Di dunia pers, kita ketahui bahwa sampai saat ini banyak kalangan jurnalis menginginkan agar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 atau lebih dikenal dengan UU Pers, harus menjadi Lex specialis untuk menyelesaikan sengketa pers. Selama ini pemerintah memang masih menggunakan KUHP sebagai dasar penyelesaian sengketa hukum.

Banyak kalangan jurnalis menolak penggunaan KUHP dalam penyelesaian sengketa, karena ancaman hukuman yang diberikan kepada insan pers berupa ancaman pidana. Menurut mereka seharusnya masalah pertikaian pers harus diselesaikan dengan cara pers juga. Salah satu mekanisme penyelesaian itu dikenal dengan istilah Hak Jawab.

Keputusan MK mengenai kontroversi UU Pers yang memutuskan bahwa UU Pers merupakan "Lex Specialis" merupakan era yang cerah bagi kalangan pers. Keputusan tersebut layaknya seperti angin surga bagi kalangan pers. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi wartawan yang dipenjarakan. Dan kebebasan pers pun terbentuk dengan baik.

Tapi, di lain pihak ada juga tokoh-tokoh pers tidak setuju dengan penerapan UU Pers sebagai Lex Specialis. Alasannya, UU Pers terlebih dahulu harus direvisi, karena dalam UU Pers tidak cukup lengkap memasukkan sanksi-sanksi atas sengketa pers. Kurang lengkapnya UU Pers itu memang sangat wajar. Sebab, UU Pers dibentuk dalam suatu keadaan yang darurat. Saat itu Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membentuk undang-undang tersebut. Alhasil, undang-undang tersebut hanya melindungi pihak-pihak tertentu dan tidak memecahkan persoalan yang ada. Yaitu bagaimana perlindungan terhadap narasumber yang telah dirugikan.

Di dalam dunia hukum pidana, kejahatan bisa terwujud dalam beberapa bentuk. Diantaranya berupa niatan, perbuatan bahkan juga sebuah tulisan. Kejahatan juga selalu mengalami peningkatan baik kualitas dan kuantitas. Alhasil, saat ini ada berbagai macam bentuk tindak pidana baru. Begitu juga dengan dunia pers. Saat ini penyalahgunaan berta memang banyak terjadi. Bahkan, dengan makin majunya dunia pers atau media massa, banyak terjadi bentuk-bentuk baru kesalahan berita yang merugikan narasumber atau orang yang diberitakan. Contohnya berita yang bisa merugikan keadaan fisik dan moril seseorang. "Apakah penggunaan hak jawab mampu menjawab permasalahan". Tentu saja hal tersebut tidak cukup bukan.

Sebagian orang beranggapan UU Pers merupakan aturan khusus menyangkut dunia Pers, sedangkan KUHP merupakan aturan umumnya. Dalam konteks “Lex specialis derrogat lex generalis”, berarti pihak pers yang melakukan tindak pidana tidak dapat dijerat menggunakan KUHP tetapi harus menggunakan UU Pers. Benarkah pendapat itu? Untuk mengujinya, mari kita lihat pasal-pasal di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana dan membandingkannya dengan pasal-pasal pidana yang sering dipergunakan dalam menjerat pihak pers. UU No. 40 Tahun 1999 memuat 1 pasal tentang ketentuan pidana, yakni Pasal 18, yang terdidir dari 3 ayat.
Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
==>Ayat (1) ini mengatur tentang setiap orang atau siapa saja yang menghambat insan pers dalam menjalankan fungsinya. Misalnya, penguasa arogan yang melakukan pembredelan terhadap persuhaan pers. Atau, bagi siapa saja yang menghalang-halangi insan pers dalam mendapatkan informasi, akan dikenakan sangsi pidana (pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00). Dengan demikian, ayat (1) tidak mengatur tentang pidana pers atau pidana yang dilakukan oleh insan pers.
Ayat (2): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan ancaman bagi setiap perusahaan pers memberitakan:
a. peristiwa dan opini yang tidak menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat;
b. azas praduga tak bersalah; serta

Kemudian perusahaan pers juga diancam pidana denda karena sikapnya:
a. yang tidak melayani hak jawab, dan
b. yang memuat iklan yang telarang, misalnya iklan yang merendahkan martabat seseorang.

Yang menjadi fokus anacaman pidana di sini adalah perusahaan pers, bukan wartawan yang membuat berita di sebuah media massa. Karena fokusnya adalah perusahaan, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda. Lalu, bagaimana dengan wartawan si pembuat berita? Secara hukum, Pasal 18 ayat (2) ini tidak bisa menjerat si wartawan yang menulis berita.
Dalam teknis penulisan berita di media massa, ada perusahaan pers yang mencantumkan langsung nama wartawan yang menulis berita (by line) dan ada pula yang sekedar membuatkan inisial atau kode si penulis berita. Menurut saya, dua teknis penulisan ini melahirkan dua konsekuensi hukum yang berbeda pula. Pola yang pertama, by line, tanggung jawab hukum isi berita terletak pada si penulis berita dan perusahaan pers, yang dalam hal ini diwakili oleh pimpinan redaksi. Sedangkan pola yang kedua, secara total tanggung jawab isi dari berita tersebut berada di pundak perusahaan.
Konsekuensi hukum selanjutnya adalah, berita yang ditulis dengan gaya by line tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban sempurna di bawah UU No. 40 Tahun 1999, karena UU ini tidak mengandung pertanggungjawaban personal sebagaimana yang berlaku di pidana umum. Yakni, tangan mencincang bahu memikul; siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab.
Ayat (3): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan sangsi yang dapat dijatuhkan kepada perusahaan pers yang tidak berbadan hukum dan tidak mencantumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya.
Menyimak Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas, UU Pers tidak memuat ketentuan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik yang ditujukan atau pertanggungjawaban hukumnya dimintakan kepada personal atau orang yang secara langsung melakukan indikasi tindak pidana. Penghinaan dan Pencemaran nama baik hanya diatur di beberapa pasal dalam KUHP, seperti Pasal 310-311 dan Pasal XIV-XV UU No. 1 Tahun 1946. Dengan demikian, tentu prinsip “Lex specialis derrogat lex generalis” tidak berlaku.

Selain itu, terlepas dari analisis di atas, UU pers ini memang belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan berlakunya UU lain. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 12 tertulis, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Yang dimaksud tentulah KUHP.
kemudian coba lihat dalam penjelasan tentang hal umum dinyatakan dengan jelas pada alinea terakhir, "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya." Itu maknanya, UU yang diberlakukan secara lex specialis harus dinyatakan dengan jelas, entah itu di batang tubuh ataupun di penjelasannya.
"Itu mengatakan dengan tegas bahwa Undang-undang ini bukan lex specialis, jadi harus ada perubahan kalau mau dijadikan lex specialis,"


II.II Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU Pers

Selanjutnya kita akan menganalisa lebih dalam mengenai kekurangan, kelebihan UU No. 40 tahun 1999 dan kaitannya dengan kondisi media di Indonesia saat ini.

Kelebihan dari UU No.40 tahun 1999
  1. Kalangan pers tetap diwajibkan untuk memiliki kode etiknya sendiri, sehingga walaupun sekarang Pemerintah tidak lagi mampu untuk melakukan penyensoran kepada pers nasional, namun terdapat situasi saling mengingatkan diantara kalangan pers tersebut, termasuk di dalamnya Dewan Pers, untuk menghadirkan informasi yang sesuai dan bermutu. (UU no.40 tahun 1999 Bab III Pasal 7)
  2. Pers Asing tidak memiliki kekebalan terhadap penyensoran sehingga harus melakukan nasionalisasi perusahaan atau membuka cabang yang berbadan hukum Indonesia namun berasosiasi dengan perusahaan pers asing di negara asalnya. Akibatnya tidak mungkin terjadi monopoli informasi oleh media asing.( UU no.40 tahun 1999 Bab VI Pasal 16)
  3. UU no 40 tahun 1999 membuka jalan baru bagi kebebasan Pers Indonesia. Aturan yang berlaku di dalamnya adalah angin segar bagi kalangan pers untuk mampu berlomba-lomba memberikan berita yang paling akurat, benar dan beretika.


Kelemahan dari UU No.40 tahun 1999
  1. Tidak adanya aturan mengenai sentralisasi kepemilikan media, sebagai akibatnya sekarang terjadi sentralisasi kepemilikan media kepada golongan tertentu di Indonesia. Padahal sentralisasi kepemilikan media dapat berefek pada termonopolinya informasi, atau pengendalian arus informasi oleh kalangan tertentu sehingga pada akhirnya informasi yang diperoleh oleh masyarakat hanyalah informasi yang telah disusun oleh sekelompok pihak dengan kepentingan mereka masing-masing. Masyarakat hanya mengetahui kenyataan yang sepotong alias tidak utuh dan akhirnya mendorong masyarakat untuk memiliki persepsi yang diinginkan oleh kelompok kepentingan yang memiliki media ini. Padahal di Amerika Serikat, sebagai contoh, aturan mengenai kepemilikan media sangatlah jelas. Tidak diperbolehkan satu orang atau satu pihak untuk menguasai penuh banyak media atau memonopolinya. Sehingga bahkan Robert Murdoch yang dijuluki sebagai Raja Media dan memiliki sahamnya di banyak media pun hanya bisa memperoleh persentase kepemilikan di masing-masing media yang dimilikinya kurang dari 50 persen.
  2. Tidak adanya aturan khusus dan menyeluruh mengenai tata cara pendirian sebuah media, sehingga sebagian institusi media atau perusahaan pers didirikan sebagai alat pencucian uang untuk sebagian oknum masyarakat Indonesia.Walaupun mendirikan perusahaan Pers adalah suatu hak dan kebebasan bagi setiap warga negara Indonesia, namun tetap harus ada aturan dan persyaratan yang jelas. Misalnya mengenai sumber dana pendirian perusahaan Pers, atau latar belakang orang yang mendirikannya sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hukum yang mengakibatkan pendirian sebuah perusahaan Pers hanya untuk kedok pencucian uang saja. (Bab IV UU no.40 tahun 1999)
  3. Keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Presiden. Sehingga independensi Dewan Pers menjadi dipertanyakan. Karena dengan kata lain berarti Presiden berhak menaruh orang-orang pilihannya di sebuah lembaga yang seharusnya melindungi dan mengembangkan kebebasan pers. Jika Presiden yang berwenang adalah orang yang demokratis maka aturan ini tidak akan menimbulkan masalah, namun jika Presiden yang berkuasa adalah seorang yang otoriter, maka aturan ini dapat menjadi bumerang bagi kebebasan Pers. (UU no.40 tahun 1999 Bab V Pasal 15)
  4. Walaupun sebagian hukum yang tertulis sudah cukup baik, namun pelaksanaannya masih belum diterapkan dengan sebagaimana yang seharusnya.

Tapi secara umum, undang-undang ini telah membuka harapan akan dunia pers Indonesia yang lebih baik


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan Dan Saran

Dari uraian yang telah saya sampaikan diatas dapat kita simpulkan bahwa UU NO 40 Tahun 1999 Tentang Pers memang memiliki berbagai kekurangan, salah satu solusinya adalah dengan melakukan revisi terhadap UU tersebut. Tetapi revisi itu nantinya jangan sampai mengurangi kebebasan pers yang sudah ada. Setelah revisi, pemberlakuan UU Pers sebagai "Lex Specialis" merupakan suatu langkah yang wajib dilakukan pemerintah. Karena dengan itu, pemerintah baru bisa disebut benar-benar menunjukkan komitmennya dalam mendukung kebebasan pers di Indonesia.
Satu kelemahan yang lain di negeri kita adalah pekerjaan ikutannya, yaitu sosialisasi UU. Penyebutan semua orang dianggap tahu bila naskah undang-undang sudah dimuat di lembaran negara tidaklah cukup. Lembaran negara dicetak terbatas. Tidak banyak orang yang segera mengetahuinya. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim pertama-tama harus terus menerus memahami UU yang baru. Sering polisi yang sedang memeriksa kasus tidak tahu UU Pers sudah berumur lima tahun. Jika hamba hukum saja belum tahu, apalagi masyarakat.


Monday, May 26, 2008

]Tanggal 16 April 1996, Munir menjadi pendiri Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rejim penguasa saat itu. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Saat menjabat Koordinator KontraS namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktifis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Suharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar.

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah, dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Sebelumnya, Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).Munir, SH pejuang Hak Asasi Manusia ini lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965.

Mengemukanya Calon Independent non Parpol

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan tak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak uji materiil terhadap UU No. 32/2004 terkait calon independen. Konstitusi tidak mengatur secara khusus tentang asal usul calon kepala daerah.
"Dalam konstitusi tidak masalah. Mahkamah Konstitusi harus mengerti betul aspirasi ini," katanya usai diskusi Menunggu Calon Independen Jakarta, di Time Break Cafe, kemarin.
Menurutnya, dalam konteks menjadi kandidat, dibandingkan dengan pemilihan presiden, secara implisit UUD 1945 memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk menjadi calon kepala daerah. Kesempatan itu dapat dibaca dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari partai politik.
"Dalam konstitusi, disebutkan calon presiden memang harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Tetapi untuk kepala daerah tidak ada pembatasan," katanya. Tidak adanya aturan dukungan partai bagi calon kepala daerah ini, tambahnya, membuka jalan pasangan calon independen.
Alasan kedua, kata dia, sebelumnya Mahkamah pernah mengabulkan penjelasan pasal 59 UU No. 32/2004 yang membatasi calon kepala daerah itu dari partai politik atau gabungan partai politik yang ada kursinya di DPR.
Alasan ketiga, perdebatan pilkada itu masuk sistem pemilu atau sistem pemerintah daerah, tetapi diputuskan oleh Mahkamah bahwa itu bisa masuk ke sistem pemilu. "Jadi ada pemikiran-pemikiran yang mengarah mendukung calon independen," katanya.
Menurutnya, dengan adanya pembatasan calon independen, hak warga negara dikurangi. "Ini reduksi amat sangat yang menghilangkan hak-hak konstitusional warga negara," tegasnya.
Saldi mengatakan, walaupun calon independen untuk pilkada DKI belum dapat dilakukan, paling tidak bisa diproyeksikan untuk daerah lain atau kesempatan pemilihan berikutnya. "Tetapi saya optimis MK akan mengabulkannya," kata dia.

================================================================================

Menyambung gagasan Dr Arief Budiman yang menyatakan perlunya ditampung dalam UU Pemilu adanya kemungkinan calon Presiden/Wakil Presiden (capres/cawapres) independen yang tidak dari partai-partai politik yang ada. Alasan yang tersirat, antara lain, bila mengandalkan "stok" calon presiden dari alur pencalonan partai-partai yang ada, akan mendapat hasil (Presiden/Wakil Presiden) yang tidak memuaskan di tahun 2004-2009 (Kompas, 4/7/2002), saya dapat menyetujui gagasan itu dan ingin menyampaikan renungan tentang soal ini lebih lanjut.

Memang UUD kita (yang telah diamandemen tiga kali) memungkinkan calon independen ini, meski perlu partai politik atau gabungan partai politik untuk mendukung, atau lebih tepat mencalonkannya (Pasal 6A Ayat 2). Tetapi, justru karena pasal ini, calon independen menjadi amat kecil peluangnya diajukan dalam pemilu untuk presiden/wakil presiden RI mendatang. Padahal, bukan hanya dalam konteks kompetisi demokratik saja tetapi juga konteks kebutuhan kepemimpinan Indonesia saat ini, calon independen diperlukan.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah ada capres/cawapres yang tersedia yang memenuhi harapan seperti tersirat dalam pernyataan Arief Budiman. Arief Budiman mengajukan nama Nurcholish Madjid. Ali Sadikin juga mencalonkan Nurcholish Madjid. (Tempo, 30/6/2002). Sementara itu, di kalangan Gerakan Jalan Lurus yang dikoordinir Dr Sulastomo juga diinventarisasi nama-nama seperti Syafei Maarif, Sulastomo, Salahuddin Wahid, selain Nurcholish Madjid. Pada kalangan lain dibincangkan juga tokoh-tokoh muda yang amat peduli terhadap nasib bangsa dan masyarakat seperti Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra dan sebagainya, sebagai tokoh-tokoh yang layak untuk ditawarkan sebagai calon-calon (independen) guna memimpin RI di masa datang.

Bila tokoh-tokoh itu dimunculkan, amat dapat dimengerti karena kebutuhan kepemimpinan nasional saat ini. Indonesia memerlukan kelompok kepemimpinan nasional di masa datang, yang seyogianya ada di tangan kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan spiritual bukan pemimpin keagamaan tertentu tetapi tokoh-tokoh yang berbobot spiritual tinggi, mempunyai kesalehan sosial dan integritas moral luhur. Bila di dunia demokrasi Barat muncul Partai Kristen Demokrat yang memimpin Pemerintahan Negara, wajar bila di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam masyarakat pluralistik, kepemimpinan nasional itu ada di tangan Islam-demokrat, yakni tokoh-tokoh yang berasal dari petarangan Islam dan menganut faham demokratik, tidak Theokratik, otokratik, apalagi tiranik.

Tokoh-tokoh ini yang menampilkan pasangan capres/cawapres yang independen. Pasangan ini sekaligus memperkenalkan platform politik nasional yang mencakup kepentingan semua golongan, all inclusive. Bahkan, dalam pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden sudah disertai "kabinet atau pendukung-pundukungnya yang pluralistik", terdiri orang-orang nasionalis, technosoof, budayawan yang berperikemanusiaan, intelektual yang kritis bertanggung jawab, dan pengusaha yang tidak "hitam". Dari pendukung-pendukung ini disusun "suatu Kabinet" berdasarkan meritokrasi.

Kalau pasangan capres/cawapres independen itu ada, renungan berikutnya adalah: apakah pencalonan independen ini dapat terwujud? Jawabannya, tidak! Karena, terhambat Pasal 6A Ayat (2) UUD. Dapat dipastikan tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mau mencalonkan calon independen ini. Partai-partai politik pasti akan amat disibukkan oleh calon-calon yang berasal dari tokoh-tokoh mereka sendiri.

***

Sebenarnya ada kemungkinan untuk melakukan terobosan yang mengakomodasi hasrat sehat rakyat. Kemungkinan pertama, dengan mengamandemen Pasal 6A Ayat (2) sehingga membuka peluang pencalonan independen pasangan capres/cawapres dengan tanpa tergantung dukungan partai atau gabungan partai politik. Tetapi ini bisa menjadi "lucu" terutama karena Pasal 6A Ayat (2) yang merupakan hasil amandemen, dan belum pernah dijalankan, sudah harus diamendir lagi. Bila ini dilakukan, itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak tersistematiknya proses reformasi konstitusi yang dilakukan kini.

Kemungkinan terobosan yang lain adalah DPR dan Presiden berani membuat Undang-Undang Pemilu yang mengakomodasi keperluan pencalonan independen ini. Dasarnya, Negara RI adalah negara hukum; artinya hukum yang berdaulat, dan bagian dari hukum yang berdaulat adalah undang-undang. Apalagi diingat, sistem MPR sudah ditinggalkan UUD yang telah diamandemen. Ini membutuhkan bukan saja kemauan tetapi lebih dari itu, keberanian DPR dan Presiden untuk menyerap dan memenuhi hasrat sehat publik Indonesia. Bila kemauan dan keberanian ini tidak ada, inilah nasib demokrasi kita!

Persoalan terkait yang perlu juga menjadi bahan perenungan kita, kapan seyogianya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dilaksanakan. Jika kita konsisten dan patuh dengan UUD yang kita miliki kini, jelas dinyatakan, Presiden dan Wakil Presiden secara sepasang dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Bukankah UUD 1945 yang telah diamandemen tiga kali ini sudah berlaku? Jadi adanya pemikiran bahwa kini belum waktunya dilaksanakan atau supaya ditunda berlakunya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung, apa pun alasannya, adalah bertentangan dengan UUD.

Demikian pula, pemikiran yang berkembang mengenai perlunya Sidang Tahunan (ST) MPR mendatang, merumuskan pasal peralihan dalam UUD 1945 yang diamandemen, tentang pernyataan bahwa UUD 1945 yang sudah diamandemen I, II, III (dan mungkin IV) itu baru berlaku sesudah tahun 2004, tampaknya hanya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, kalaupun bukan oportunistik. Jika ini diterima ST MPR nanti, yang akan terjadi adalah ketidakadilan konstitusional, terutama bagi mereka yang sudah terkena akibat dari pelaksanaan pasal-pasal UUD yang sudah diamandemen, seperti nasib calon-calon duta besar yang sudah ditolak DPR berdasarkan Pasal 13 Ayat 2. Ini bila tidak mendapat koreksi hanya melanggengkan ketidakpastian/kesemrawutan konstitusi di Indonesia.

Begitu pula dalam semangat bahwa presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat, maka masuk akal bila putaran kedua juga dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan PDI-P yang menerima usulan bahwa putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dikembalikan kepada pemilih (rakyat) (Kompas, 9/7/2002), makin memberi kepastian pelaksanaan UUD secara konsekuen. Gagasan untuk menyerahkan putaran kedua pemilihan langsung pasangan presiden/wakil presiden kepada MPR, bertentangan sebenarnya dengan semangat UUD itu sendiri yang memberikan kepada MPR otoritas hanya untuk "seremoni" melantik presiden/wakil presiden terpilih.

========================================================================================

Pilkada Harus Buka Calon Independen

Jakarta, Kompas - Rencana Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dalam membuat aturan soal pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik kini menuai kritik. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan pemerintah daerah yang kotor.

Pengamat politik dari Pusat Studi Pengembangan Kawasan Laode Ida yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dari Sulawesi Tenggara termasuk yang tidak setuju. "Dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpol-lah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya," tuturnya, Rabu (4/8).

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) Deddy Supriady Bratakusumah juga menyatakan ketidaksetujuan dengan sistem satu pintu. "Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan alternatif bagi mereka yang ’bukan simpatisan parpol’ dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada," paparnya.

Atas dasar itu, menurut Deddy, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen. Kita juga sudah memiliki pengalaman dalam pemilihan anggota DPD. Pencalonan pintu independen langsung disampaikan ke panitia pemilihan kepala daerah.

Politik uang

Seperti diberitakan, dalam rapat Panitia Kerja terakhir, semua fraksi di DPR cenderung sepakat dengan pencalonan kepala daerah melalui satu pintu, parpol atau gabungan parpol.

Laode menilai, pencalonan pilkada melalui pintu parpol, akan melemahkan parpol. Soalnya, parpol tak akan memiliki kompetitor pengimbang dari luar. "Ini tidak akan menyehatkan parpol," ucap Laode.

Masyarakat pun "dipaksa" untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang "busuk". Politik uang yang sekarang banyak terjadi dalam proses pilkada akan terus berlangsung. Parpol yang telah menyiapkan diri sebagai kendaraan politik akan "disewa" calon indendepen yang punya banyak uang. (sut)

=================================================================

Calon Independen Harus Diperjuangkan
Senin, 11/06/2007

Gagal mengizinkan calon independen menjadi kontestan merupakan bencana bagi Pilkada DKI jika dilihat dari perkembangan demokrasi. Secara lebih luas,juga menandakan beratnya jalan ke arah demokrasi selama elite politik masih berpikir defensif.

Politik DKI belum digunakan untuk menampung keinginan orang biasa.Partai politik menjadi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Secara lebih skeptis, bisa dikatakan reformasi akan mandek karena hasil korupsi pemegang kekuasaan akan dilindungi terus oleh elite politik. Bila pemegang kekuasaan di suatu daerah tingkat I digantikan oleh yang baru, bisa ada harapan gubernur baru melakukan gerakan pembersihan pada awal masa jabatannya. Sebaliknya, bila pilkada menghasilkan gubernur yang satu kubu dengan gubernur lama, dengan sendirinya korupsi akan dibiarkan. Seorang penguasa baru dari kubu incumbent tidak berkepentingan melakukan pembersihan.

Mana bisa, karena yang harus dibersihkan itu justru senior yang menjadi sponsor kemenangan calon gubernur itu menjadi gubernur baru. Pilkada DKI sempat dihangatkan ketika beredar pikiran bahwa perlu ada calon ketiga, saat tahap pencalonan kelihatan akan mandek pada dua calon. Berbagai lembaga survei mengumumkan temuan bahwa lebih dari 70% pemilih menginginkan ada calon ketiga.Tidak dilaporkan lebih lanjut mengapa banyak keinginan ini.

Tapi sangat jelas salah satu sebabnya adalah kedua calon yang mapan itu tidak menarik untuk dipilih rakyat. Mengapa tidak? Cagub Fauzi Bowo adalah wakil gubernur incumbent yang didukung oleh Gubernur Sutiyoso. Kalau calon ini tampak kuat karena dari awal pemerintahan DKI dipakai sebagai mesin kampanye. Semua yang memerlukan dukungan gubernur digiring untuk mendukung Fauzi Bowo. Ini berlaku baik bagi perusahaan dagang yang diminta diamdiam untuk menyumbang dana kampanye sampai kepada stasiun televisi yang tidak berani berbeda pendapat sama sekali dengan gubernur dan wakil gubernur. Kasus penggunaan dana APBD untuk poster dan iklan kampanye gubernur hanya puncak gunung es berupa penyelewengan fasilitas pemerintah daerah untuk kampanye politik.

Fauzi Bowo adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman lama, sayang kapabilitas itu tidak dipakai. Keahlian yang dipakai bukan dalam pemerintah kota, tapi justru dalam pemanfaatan birokrasi dan uang. Pakar pemerintahan daerah dan komunikasi direkrut menjadi penasihat dan pelindung kampanye terselubung. Aneh sekali kalau Fauzi Bowo tidak menang. Suasana DKI di bawah Sutiyoso mirip dengan suasana Indonesia di bawah Orde Baru.Tidak ada pilihan masyarakat di luar yang diinginkan rezim berkuasa. Kita bisa mengatakan itu karena asumsi kita masyarakat sebagian besar tergantung pada kekuasaan gubernur.

Muncul calon kedua,Adang Daradjatun, yang sebetulnya memberikan angin segar karena dia dan pendukungnya termasuk sedikit orang yang tidak tergantung dan tidak takut pada kekuasaan gubernur sekarang.Apalagi, Adang Daradjatun bersikap terbuka dan responsif, rajin tampil di muka umum, bahkan di acara televisi kritis di mana Fauzi Bowo tidak berani muncul. Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan, mengapa dia begitu percaya diri, tidak tergantung pada fasilitas siapa pun. Beredarlah cerita, calon ini telah mengumpulkan uang banyak dan menyumbangkan uang dalam jumlah puluhan miliar kepada partai yang dipilihnya sebagai pendukung.

Susah juga diperoleh keterangan yang pasti,sebab menanyakan hal begitu dianggap tidak sopan dan mengeluarkan sinyalemen akan langsung diblokir oleh tantangan untuk mengeluarkan bukti. Lagipula, Adang menggunakan cara kampanye yang santun dan menunjukkan penghormatan kepada publik. Untuk sementara, fokus lebih ditujukan pada Fauzi Bowo dan Sutiyoso yang jelas melanggar etika komunikasi publik dengan berbagai taktik,mulai dari menyelundupkan orang ke dalam acara sosialisasi pilkada, menyewa pakar dengan ilmu yang menyesatkan,dan menghindari semua kesempatan untuk tampil dengan idenya. Orang banyak yang tahu Fauzi Bowo, dari wajahnya dan kumisnya yang khas, dan juga tahu dia rajin datang ke acara massal dan membagikan hadiah.Tapi tidak ada yang tahu apa programnya kalau jadi gubernur.

Anak buahnya pernah mengatakan Fauzi akan melanjutkan kebijakan Sutiyoso. Itu tidak mendapat sambutan hangat karena kebijakan sekarang justru menghasilkan penderitaan.Tapi kalau Fauzi mau bilang bahwa dia akan melakukan perombakan, tidak berani juga. Soalnya, Sutiyoso tidak merasa ada yang salah. Dia selalu menekankan bahwa hanya dia yang tahu cara memerintah DKI. Menghadapi bonek, harus dengan cara yang sama keras, merupakan parafrase dari ucapan kegemarannya.

Pemilih Mulai Malas

Pemilih mulai malas.Fauzi Bowo pasti akan jadi calon dan calon lawannya pasti Adang Daradjatun. Orang belum cukup lama mengenal Adang. Dari mana uangnya yang banyak itu? Apa dia korupsi selama menjadi orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi pengusaha.Menimbulkan pertanyaan juga. Usaha apa? Apakah suksesnya karena dia istri pejabat tinggi kepolisian? Walaupun tidak ditanyakan secara terbuka, pertanyaan tetap beredar.Harusnya ada yang menasihati Adang Daradjatun agar secara sukarela membeberkan kondisi keuangannya dan hubungannya dengan keuangan PKS. Dengan demikian, isu itu bisa hilang dari Pilkada.

Tapi kalaupun hilang isu itu, ada isu yang lain, yaitu masalah ideologi partai dan ideologi pribadi. Sebagai polisi, Adang harus bersikap sekuler, memisahkan negara dan agama.Moralitas pribadi harus diserahkan pada masingmasing individu.Negara hanya masuk di mana jelas ada rumus hukum. PKS mempunyai ideologi yang bertolak belakang. Justru kader mereka memandang dirinya sebagai pejuang partai bersih yang ingin menegakkan moralitas masyarakat melalui moralitas pribadi. PKS tidak mau memisahkan soal agama dengan soal negara.

Pribadi, negara, agama, harus disatukan menurut konsep mereka. Kalau mereka tidak melakukan itu, maka sifatnya adalah kompromi. Jadi, kalau PKS menyetujui Adang Daradjatun dalam ucapan terkenalnya bahwa dia tidak akan melarang kehidupan malam yang tidak halal, maka pasti persetujuan PKS itu taktis, sementara, dan tidak tulus. Ada kerawanan dalam hubungan Adang Daradjatun dengan PKS, dan sayang sekali kalau DKI harus menghadapi masalah semacam itu di samping masalah banjir, orang miskin,kemacetan lalu lintas,hak atas tanah, dan kaki lima.

Deadlock

Di antara dua calon itu, pemilih DKI menghadapi deadlock. Kedua kontestan akan main defensif, tidak akan ada yang maju dengan pemikiran baru untuk perbaikan kota.Hanya menunggu lawannya ambil langkah. Karena itu, rakyat DKI perlu calon ketiga,Tapi PAN dan PKB dan partai kecil melepaskan kesempatan menjadi penyelamat, dan sekarang satusatunya harapan adalah calon independen. Mahkamah Konstitusi tidak menyambut sejarah,tidak membuka kesempatan untuk mendukung adanya calon independen.Jadi orang sudah tidak tahu lagi,apa yang bisa dilakukan secara aktif. Secara pasif, orang bisa menyatakan kekecewaannya dengan tidak memilih.

Tapi itu bukan solusi yang membangun demokrasi. Bagaimanapun, calon independen harus diperjuangkan. Menang atau kalah, itu bukan soal. Jangan biarkan dua calon ini bersaing tanpa partisipasi pemilih. Dan jangan biarkan partai politik mencuri hasil reformasi 1998 dan menggantinya dengan kekuasaan baru oligarki politik.(*)

Wimar Witoelar Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Pengelola perspektif.net


Mengemukanya Calon Independent non Parpol

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan tak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak uji materiil terhadap UU No. 32/2004 terkait calon independen. Konstitusi tidak mengatur secara khusus tentang asal usul calon kepala daerah.
"Dalam konstitusi tidak masalah. Mahkamah Konstitusi harus mengerti betul aspirasi ini," katanya usai diskusi Menunggu Calon Independen Jakarta, di Time Break Cafe, kemarin.
Menurutnya, dalam konteks menjadi kandidat, dibandingkan dengan pemilihan presiden, secara implisit UUD 1945 memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk menjadi calon kepala daerah. Kesempatan itu dapat dibaca dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari partai politik.
"Dalam konstitusi, disebutkan calon presiden memang harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Tetapi untuk kepala daerah tidak ada pembatasan," katanya. Tidak adanya aturan dukungan partai bagi calon kepala daerah ini, tambahnya, membuka jalan pasangan calon independen.
Alasan kedua, kata dia, sebelumnya Mahkamah pernah mengabulkan penjelasan pasal 59 UU No. 32/2004 yang membatasi calon kepala daerah itu dari partai politik atau gabungan partai politik yang ada kursinya di DPR.
Alasan ketiga, perdebatan pilkada itu masuk sistem pemilu atau sistem pemerintah daerah, tetapi diputuskan oleh Mahkamah bahwa itu bisa masuk ke sistem pemilu. "Jadi ada pemikiran-pemikiran yang mengarah mendukung calon independen," katanya.
Menurutnya, dengan adanya pembatasan calon independen, hak warga negara dikurangi. "Ini reduksi amat sangat yang menghilangkan hak-hak konstitusional warga negara," tegasnya.
Saldi mengatakan, walaupun calon independen untuk pilkada DKI belum dapat dilakukan, paling tidak bisa diproyeksikan untuk daerah lain atau kesempatan pemilihan berikutnya. "Tetapi saya optimis MK akan mengabulkannya," kata dia.

================================================================================

Menyambung gagasan Dr Arief Budiman yang menyatakan perlunya ditampung dalam UU Pemilu adanya kemungkinan calon Presiden/Wakil Presiden (capres/cawapres) independen yang tidak dari partai-partai politik yang ada. Alasan yang tersirat, antara lain, bila mengandalkan "stok" calon presiden dari alur pencalonan partai-partai yang ada, akan mendapat hasil (Presiden/Wakil Presiden) yang tidak memuaskan di tahun 2004-2009 (Kompas, 4/7/2002), saya dapat menyetujui gagasan itu dan ingin menyampaikan renungan tentang soal ini lebih lanjut.

Memang UUD kita (yang telah diamandemen tiga kali) memungkinkan calon independen ini, meski perlu partai politik atau gabungan partai politik untuk mendukung, atau lebih tepat mencalonkannya (Pasal 6A Ayat 2). Tetapi, justru karena pasal ini, calon independen menjadi amat kecil peluangnya diajukan dalam pemilu untuk presiden/wakil presiden RI mendatang. Padahal, bukan hanya dalam konteks kompetisi demokratik saja tetapi juga konteks kebutuhan kepemimpinan Indonesia saat ini, calon independen diperlukan.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah ada capres/cawapres yang tersedia yang memenuhi harapan seperti tersirat dalam pernyataan Arief Budiman. Arief Budiman mengajukan nama Nurcholish Madjid. Ali Sadikin juga mencalonkan Nurcholish Madjid. (Tempo, 30/6/2002). Sementara itu, di kalangan Gerakan Jalan Lurus yang dikoordinir Dr Sulastomo juga diinventarisasi nama-nama seperti Syafei Maarif, Sulastomo, Salahuddin Wahid, selain Nurcholish Madjid. Pada kalangan lain dibincangkan juga tokoh-tokoh muda yang amat peduli terhadap nasib bangsa dan masyarakat seperti Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra dan sebagainya, sebagai tokoh-tokoh yang layak untuk ditawarkan sebagai calon-calon (independen) guna memimpin RI di masa datang.

Bila tokoh-tokoh itu dimunculkan, amat dapat dimengerti karena kebutuhan kepemimpinan nasional saat ini. Indonesia memerlukan kelompok kepemimpinan nasional di masa datang, yang seyogianya ada di tangan kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan spiritual bukan pemimpin keagamaan tertentu tetapi tokoh-tokoh yang berbobot spiritual tinggi, mempunyai kesalehan sosial dan integritas moral luhur. Bila di dunia demokrasi Barat muncul Partai Kristen Demokrat yang memimpin Pemerintahan Negara, wajar bila di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam masyarakat pluralistik, kepemimpinan nasional itu ada di tangan Islam-demokrat, yakni tokoh-tokoh yang berasal dari petarangan Islam dan menganut faham demokratik, tidak Theokratik, otokratik, apalagi tiranik.

Tokoh-tokoh ini yang menampilkan pasangan capres/cawapres yang independen. Pasangan ini sekaligus memperkenalkan platform politik nasional yang mencakup kepentingan semua golongan, all inclusive. Bahkan, dalam pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden sudah disertai "kabinet atau pendukung-pundukungnya yang pluralistik", terdiri orang-orang nasionalis, technosoof, budayawan yang berperikemanusiaan, intelektual yang kritis bertanggung jawab, dan pengusaha yang tidak "hitam". Dari pendukung-pendukung ini disusun "suatu Kabinet" berdasarkan meritokrasi.

Kalau pasangan capres/cawapres independen itu ada, renungan berikutnya adalah: apakah pencalonan independen ini dapat terwujud? Jawabannya, tidak! Karena, terhambat Pasal 6A Ayat (2) UUD. Dapat dipastikan tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mau mencalonkan calon independen ini. Partai-partai politik pasti akan amat disibukkan oleh calon-calon yang berasal dari tokoh-tokoh mereka sendiri.

***

Sebenarnya ada kemungkinan untuk melakukan terobosan yang mengakomodasi hasrat sehat rakyat. Kemungkinan pertama, dengan mengamandemen Pasal 6A Ayat (2) sehingga membuka peluang pencalonan independen pasangan capres/cawapres dengan tanpa tergantung dukungan partai atau gabungan partai politik. Tetapi ini bisa menjadi "lucu" terutama karena Pasal 6A Ayat (2) yang merupakan hasil amandemen, dan belum pernah dijalankan, sudah harus diamendir lagi. Bila ini dilakukan, itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak tersistematiknya proses reformasi konstitusi yang dilakukan kini.

Kemungkinan terobosan yang lain adalah DPR dan Presiden berani membuat Undang-Undang Pemilu yang mengakomodasi keperluan pencalonan independen ini. Dasarnya, Negara RI adalah negara hukum; artinya hukum yang berdaulat, dan bagian dari hukum yang berdaulat adalah undang-undang. Apalagi diingat, sistem MPR sudah ditinggalkan UUD yang telah diamandemen. Ini membutuhkan bukan saja kemauan tetapi lebih dari itu, keberanian DPR dan Presiden untuk menyerap dan memenuhi hasrat sehat publik Indonesia. Bila kemauan dan keberanian ini tidak ada, inilah nasib demokrasi kita!

Persoalan terkait yang perlu juga menjadi bahan perenungan kita, kapan seyogianya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dilaksanakan. Jika kita konsisten dan patuh dengan UUD yang kita miliki kini, jelas dinyatakan, Presiden dan Wakil Presiden secara sepasang dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Bukankah UUD 1945 yang telah diamandemen tiga kali ini sudah berlaku? Jadi adanya pemikiran bahwa kini belum waktunya dilaksanakan atau supaya ditunda berlakunya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung, apa pun alasannya, adalah bertentangan dengan UUD.

Demikian pula, pemikiran yang berkembang mengenai perlunya Sidang Tahunan (ST) MPR mendatang, merumuskan pasal peralihan dalam UUD 1945 yang diamandemen, tentang pernyataan bahwa UUD 1945 yang sudah diamandemen I, II, III (dan mungkin IV) itu baru berlaku sesudah tahun 2004, tampaknya hanya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, kalaupun bukan oportunistik. Jika ini diterima ST MPR nanti, yang akan terjadi adalah ketidakadilan konstitusional, terutama bagi mereka yang sudah terkena akibat dari pelaksanaan pasal-pasal UUD yang sudah diamandemen, seperti nasib calon-calon duta besar yang sudah ditolak DPR berdasarkan Pasal 13 Ayat 2. Ini bila tidak mendapat koreksi hanya melanggengkan ketidakpastian/kesemrawutan konstitusi di Indonesia.

Begitu pula dalam semangat bahwa presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat, maka masuk akal bila putaran kedua juga dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan PDI-P yang menerima usulan bahwa putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dikembalikan kepada pemilih (rakyat) (Kompas, 9/7/2002), makin memberi kepastian pelaksanaan UUD secara konsekuen. Gagasan untuk menyerahkan putaran kedua pemilihan langsung pasangan presiden/wakil presiden kepada MPR, bertentangan sebenarnya dengan semangat UUD itu sendiri yang memberikan kepada MPR otoritas hanya untuk "seremoni" melantik presiden/wakil presiden terpilih.

========================================================================================

Pilkada Harus Buka Calon Independen

Jakarta, Kompas - Rencana Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dalam membuat aturan soal pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik kini menuai kritik. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan pemerintah daerah yang kotor.

Pengamat politik dari Pusat Studi Pengembangan Kawasan Laode Ida yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dari Sulawesi Tenggara termasuk yang tidak setuju. "Dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpol-lah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya," tuturnya, Rabu (4/8).

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) Deddy Supriady Bratakusumah juga menyatakan ketidaksetujuan dengan sistem satu pintu. "Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan alternatif bagi mereka yang ’bukan simpatisan parpol’ dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada," paparnya.

Atas dasar itu, menurut Deddy, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen. Kita juga sudah memiliki pengalaman dalam pemilihan anggota DPD. Pencalonan pintu independen langsung disampaikan ke panitia pemilihan kepala daerah.

Politik uang

Seperti diberitakan, dalam rapat Panitia Kerja terakhir, semua fraksi di DPR cenderung sepakat dengan pencalonan kepala daerah melalui satu pintu, parpol atau gabungan parpol.

Laode menilai, pencalonan pilkada melalui pintu parpol, akan melemahkan parpol. Soalnya, parpol tak akan memiliki kompetitor pengimbang dari luar. "Ini tidak akan menyehatkan parpol," ucap Laode.

Masyarakat pun "dipaksa" untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang "busuk". Politik uang yang sekarang banyak terjadi dalam proses pilkada akan terus berlangsung. Parpol yang telah menyiapkan diri sebagai kendaraan politik akan "disewa" calon indendepen yang punya banyak uang. (sut)

=================================================================

Calon Independen Harus Diperjuangkan
Senin, 11/06/2007

Gagal mengizinkan calon independen menjadi kontestan merupakan bencana bagi Pilkada DKI jika dilihat dari perkembangan demokrasi. Secara lebih luas,juga menandakan beratnya jalan ke arah demokrasi selama elite politik masih berpikir defensif.

Politik DKI belum digunakan untuk menampung keinginan orang biasa.Partai politik menjadi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Secara lebih skeptis, bisa dikatakan reformasi akan mandek karena hasil korupsi pemegang kekuasaan akan dilindungi terus oleh elite politik. Bila pemegang kekuasaan di suatu daerah tingkat I digantikan oleh yang baru, bisa ada harapan gubernur baru melakukan gerakan pembersihan pada awal masa jabatannya. Sebaliknya, bila pilkada menghasilkan gubernur yang satu kubu dengan gubernur lama, dengan sendirinya korupsi akan dibiarkan. Seorang penguasa baru dari kubu incumbent tidak berkepentingan melakukan pembersihan.

Mana bisa, karena yang harus dibersihkan itu justru senior yang menjadi sponsor kemenangan calon gubernur itu menjadi gubernur baru. Pilkada DKI sempat dihangatkan ketika beredar pikiran bahwa perlu ada calon ketiga, saat tahap pencalonan kelihatan akan mandek pada dua calon. Berbagai lembaga survei mengumumkan temuan bahwa lebih dari 70% pemilih menginginkan ada calon ketiga.Tidak dilaporkan lebih lanjut mengapa banyak keinginan ini.

Tapi sangat jelas salah satu sebabnya adalah kedua calon yang mapan itu tidak menarik untuk dipilih rakyat. Mengapa tidak? Cagub Fauzi Bowo adalah wakil gubernur incumbent yang didukung oleh Gubernur Sutiyoso. Kalau calon ini tampak kuat karena dari awal pemerintahan DKI dipakai sebagai mesin kampanye. Semua yang memerlukan dukungan gubernur digiring untuk mendukung Fauzi Bowo. Ini berlaku baik bagi perusahaan dagang yang diminta diamdiam untuk menyumbang dana kampanye sampai kepada stasiun televisi yang tidak berani berbeda pendapat sama sekali dengan gubernur dan wakil gubernur. Kasus penggunaan dana APBD untuk poster dan iklan kampanye gubernur hanya puncak gunung es berupa penyelewengan fasilitas pemerintah daerah untuk kampanye politik.

Fauzi Bowo adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman lama, sayang kapabilitas itu tidak dipakai. Keahlian yang dipakai bukan dalam pemerintah kota, tapi justru dalam pemanfaatan birokrasi dan uang. Pakar pemerintahan daerah dan komunikasi direkrut menjadi penasihat dan pelindung kampanye terselubung. Aneh sekali kalau Fauzi Bowo tidak menang. Suasana DKI di bawah Sutiyoso mirip dengan suasana Indonesia di bawah Orde Baru.Tidak ada pilihan masyarakat di luar yang diinginkan rezim berkuasa. Kita bisa mengatakan itu karena asumsi kita masyarakat sebagian besar tergantung pada kekuasaan gubernur.

Muncul calon kedua,Adang Daradjatun, yang sebetulnya memberikan angin segar karena dia dan pendukungnya termasuk sedikit orang yang tidak tergantung dan tidak takut pada kekuasaan gubernur sekarang.Apalagi, Adang Daradjatun bersikap terbuka dan responsif, rajin tampil di muka umum, bahkan di acara televisi kritis di mana Fauzi Bowo tidak berani muncul. Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan, mengapa dia begitu percaya diri, tidak tergantung pada fasilitas siapa pun. Beredarlah cerita, calon ini telah mengumpulkan uang banyak dan menyumbangkan uang dalam jumlah puluhan miliar kepada partai yang dipilihnya sebagai pendukung.

Susah juga diperoleh keterangan yang pasti,sebab menanyakan hal begitu dianggap tidak sopan dan mengeluarkan sinyalemen akan langsung diblokir oleh tantangan untuk mengeluarkan bukti. Lagipula, Adang menggunakan cara kampanye yang santun dan menunjukkan penghormatan kepada publik. Untuk sementara, fokus lebih ditujukan pada Fauzi Bowo dan Sutiyoso yang jelas melanggar etika komunikasi publik dengan berbagai taktik,mulai dari menyelundupkan orang ke dalam acara sosialisasi pilkada, menyewa pakar dengan ilmu yang menyesatkan,dan menghindari semua kesempatan untuk tampil dengan idenya. Orang banyak yang tahu Fauzi Bowo, dari wajahnya dan kumisnya yang khas, dan juga tahu dia rajin datang ke acara massal dan membagikan hadiah.Tapi tidak ada yang tahu apa programnya kalau jadi gubernur.

Anak buahnya pernah mengatakan Fauzi akan melanjutkan kebijakan Sutiyoso. Itu tidak mendapat sambutan hangat karena kebijakan sekarang justru menghasilkan penderitaan.Tapi kalau Fauzi mau bilang bahwa dia akan melakukan perombakan, tidak berani juga. Soalnya, Sutiyoso tidak merasa ada yang salah. Dia selalu menekankan bahwa hanya dia yang tahu cara memerintah DKI. Menghadapi bonek, harus dengan cara yang sama keras, merupakan parafrase dari ucapan kegemarannya.

Pemilih Mulai Malas

Pemilih mulai malas.Fauzi Bowo pasti akan jadi calon dan calon lawannya pasti Adang Daradjatun. Orang belum cukup lama mengenal Adang. Dari mana uangnya yang banyak itu? Apa dia korupsi selama menjadi orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi pengusaha.Menimbulkan pertanyaan juga. Usaha apa? Apakah suksesnya karena dia istri pejabat tinggi kepolisian? Walaupun tidak ditanyakan secara terbuka, pertanyaan tetap beredar.Harusnya ada yang menasihati Adang Daradjatun agar secara sukarela membeberkan kondisi keuangannya dan hubungannya dengan keuangan PKS. Dengan demikian, isu itu bisa hilang dari Pilkada.

Tapi kalaupun hilang isu itu, ada isu yang lain, yaitu masalah ideologi partai dan ideologi pribadi. Sebagai polisi, Adang harus bersikap sekuler, memisahkan negara dan agama.Moralitas pribadi harus diserahkan pada masingmasing individu.Negara hanya masuk di mana jelas ada rumus hukum. PKS mempunyai ideologi yang bertolak belakang. Justru kader mereka memandang dirinya sebagai pejuang partai bersih yang ingin menegakkan moralitas masyarakat melalui moralitas pribadi. PKS tidak mau memisahkan soal agama dengan soal negara.

Pribadi, negara, agama, harus disatukan menurut konsep mereka. Kalau mereka tidak melakukan itu, maka sifatnya adalah kompromi. Jadi, kalau PKS menyetujui Adang Daradjatun dalam ucapan terkenalnya bahwa dia tidak akan melarang kehidupan malam yang tidak halal, maka pasti persetujuan PKS itu taktis, sementara, dan tidak tulus. Ada kerawanan dalam hubungan Adang Daradjatun dengan PKS, dan sayang sekali kalau DKI harus menghadapi masalah semacam itu di samping masalah banjir, orang miskin,kemacetan lalu lintas,hak atas tanah, dan kaki lima.

Deadlock

Di antara dua calon itu, pemilih DKI menghadapi deadlock. Kedua kontestan akan main defensif, tidak akan ada yang maju dengan pemikiran baru untuk perbaikan kota.Hanya menunggu lawannya ambil langkah. Karena itu, rakyat DKI perlu calon ketiga,Tapi PAN dan PKB dan partai kecil melepaskan kesempatan menjadi penyelamat, dan sekarang satusatunya harapan adalah calon independen. Mahkamah Konstitusi tidak menyambut sejarah,tidak membuka kesempatan untuk mendukung adanya calon independen.Jadi orang sudah tidak tahu lagi,apa yang bisa dilakukan secara aktif. Secara pasif, orang bisa menyatakan kekecewaannya dengan tidak memilih.

Tapi itu bukan solusi yang membangun demokrasi. Bagaimanapun, calon independen harus diperjuangkan. Menang atau kalah, itu bukan soal. Jangan biarkan dua calon ini bersaing tanpa partisipasi pemilih. Dan jangan biarkan partai politik mencuri hasil reformasi 1998 dan menggantinya dengan kekuasaan baru oligarki politik.(*)

Wimar Witoelar Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Pengelola perspektif.net