Jurnal Hukum

Saturday, June 9, 2007

Pentingnya RUU Anti KDRT

PENTINGNYA
RUU ANTI Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pasal 356 KUHP yang memberikan tambahan hukuman 1/3 bagi pelaku penganiayaan terhadap anak, istri, ibu dan bapak –yang kemudian dalam pasal 487 RKUHP ditambah kata suami--, adalah pasal yang selama ini dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban KDRT, hal mana mendorong aktifis perempuan mengusulkan RUU tensendiri.

Kelemahan-kelemahan mendasar dalam KUHP’ sehingga perlu adanya RUU anti KDRT, sbb:
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum; sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat.



RUU anti KDRT menambahkan asas-asas baru dalam hukum pidana yang selama ini tidak dimuat dalam KUHP, yakni: a) perlindungan dan penegakan HAM b)kesetaraan dan keadilan jender; c) Keadilan relasi sosial dan perlindungan bagi korban.
KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam RUU Anti KDRT , sbb:

a. Pasal 351- 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik.

b. Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul., belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU Anti KDRT, sbb:

- Pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan atau penetrasi penis seperti menggunakan benda atau alat atau dengan bagian-bagian tubuh tertentu di luar penis, atau dengan cara menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan, sebagai bentuk perkosaan.

- Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang.


c. KUHP juga tidak mengatur tindakan kekerasan seksual berupa penyerangan seksual (seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa namun perkosaan itu tidak sampai terjadi). Dalam KUHP, tindakan ini di tempatkan sebagai percobaan semata berdasarkan Pasal 53 KUHP. Dan dalam prakteknya jarang pelaku perkosaan --yang tidak sampai menyelesaikan perbuatannya— bisa dijerat dengan pasal ini, tetapi lebih dikenakan pada pasal perbuatan cabul yang hukumannya dalam prakteknya selalu lebih ringan, terlebih lagi esensi perbuatan cabul tidak sama dengan perkosaan.


d. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”. Tidak menggunakan / memakai istilah seksual violence atau kejahatan seksual yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan.


e. Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama, atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).


f. Pasal 442 KUHP mempidana mereka yang menelantarkan orang-orang yang menurut hukum wajib ia beri nafkah, dirawat dan dipelihara. Sekalipun demikian, pasal ini barulah mengatur satu aspek saja dari definisi kekerasan ekonomi yang dimuat dalam RUU anti KDRT.


g. Pasal 465 tentang penyanderaan dan pasal 470 perampasan kemerdekaan seseorang, dianggap telah menampung kekerasan psikis yang diajukan dalam RUU Anti KDRT. Kenyataannya kedua pasal tersebut hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan perampasan), sementara definisi kekerasan psikis yang termuat dalam RUU anti KDRT lebih luas, karena yang dicantumkan adalah akibatnya (secara psikis), tetapi perbuatannya bisa mewujud dalam berbagai bentuk.


h. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga sebagaimana yang diajukan dalam RUU Anti KDRT.


i. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, hal mana membuat dilema tersendiri bagi korban.


j. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi.


k. Pasal 351-356 KUHP (pasal penganiayaan) hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda. Selain itu, penghukuman penjara sering membuat dilemma tersendiri bagi korban, karena adanya ketergantungan ekonomi dan sosial pada pelaku, sehingga korban cendrung untuk tidak melaporkan.


Sementara RUU KDRT memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan tujuannya juga meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat ringan dan beratnya tindak KDRT.

RUU KDRT adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga memuat unsure-unsur lex special. Unsur-unsur lex special terdiri dari :

Unsur korektif terhadap pelaku. RUU KDRT mengatur alternatif sanksi dari pada KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak kekerasan.

Unsur preventif terhadap masyarakat. Keberadaan RUU KDRT ditujukan untuk mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga, karena selama ini masalah KDRT dianggap masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di intervensi.

Unsur Protektif terhadap korban. RUU KDRT memuat pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubungan-hubungan domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi (kelompok rentan).

Adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU mencantumkan mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang pokok-pokoknya, sbb:

Kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban

Perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku

Bantuan hukum bagi korban

Perlindungan saksi

Prosedur alternatif pengajuan tuntutan

Prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban. kesaksian korban dapat dipakai dan diperkuat oleh keterangan ahli maka perkara bisa terus diajukan hingga ke penuntutan

Alat pembuktian menerapkan pula visum psikiatrikum

Penanganan secara integratif/terpadu dari instansi hukum, instansi medis atau instansi pemerintah lainnya dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan



ARGUMENTASI MENENTANG GAGASAN tentang KODIFIKASI HUKUM

(KUHP / KUHAP)

Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.

Pentingnya keberadaan RUU KDRT dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni berpegang pada adagium lex priori: hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau aturan yang lama. Dan lex spesialis derogat legi generalis: hukum atau aturan yang bersifat khusu mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum.

Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945, Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


KUHP dan KUHAP sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT. Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis kelaminnya. KUHP maupun KUHAP sama sekali tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarkhi dan feudal serta adanya perbedaan kelas/status sosial yang membuat adanya ketimpangan dalam hubungan sosial, terutama dalam relasi-relasi domestik. Aturan-aturan tsb mengandaikan setiap orang sama mampu dan berdayanya untuk memperoleh keadilan hukum.

Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT, menghadapi berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti:

Tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga.

Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang di persalahkan karena tidak becus mengurus suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’.

Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status sosialnya sebagai kepala keluarga.

Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan bagaimana anak-anak?

Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya sebagai masalah privat. Tidak semua kepolisian ada RPK-nya.

Berani melapor, direspon oleh polwan di RPK, tapi ternyata sulit untuk membuktikan kekerasan yang dialaminya (terbentur KUHAP).

Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.



PIDANA KERJA SOSIAL

Dalam konsep Rancangan KUHP baru Indonesia [Naskah Rancangan KUHP (Baru) Buku Kesatu-Buku Kedua dan Penjelasannya, yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, Departemen Kehakiman RI], Pidana Kerja Sosial diatur dalam Pasal 75:

(1) Dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan atau denda tidak melebihi Kategori I, maka ia dapat mengganti pidana kerja sosial yang sifatnya tidak dibayar (tidak diberi upah).

(2) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, Hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a.Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan.

b.Usia layak kerja terpidana menurut Undang-undang.

c.Persetujuan terpidana, sesudah Hakim menjelaskan tujuan dan segala hal yang

berkaitan dengan pidana kerja sosial.

d.Riwayat sosial terpidana.

e.Pidana Kerja Sosial tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik

terpidana.

f.Pidana Kerja Sosial tidak boleh dikomersialkan.

g.Dalam hal Pidana Kerja Sosial dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda, maka

sebelumnya harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu

membayar denda tersebut.

(3) Pidana Kerja Sosial dikenakan paling lama 240 jam, untuk terpidana yang telah berumur 18 tahun, dan 120 jam untuk terpidana yang berumur di bawah 18 tahun, dan paling pendek 7 jam.

(4) Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan, dengan memperhatikan kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lainnya yang bermanfaat.

(5) Apabila terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasa yang wajar, maka Hakim dapat memerintahkan terpidana untuk:

a.Mengulangi seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial tersebut, atau

b.Menjalani seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial yang digantikan oleh Pidana

Kerja Sosial tersebut, atau

c.Membayar seluruhnya atau sebagian Pidana Denda yang tidak dibayar yang

digantikan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut, atau menjalani Pidana Penjara

sebagai pengganti Denda yang tidak dibayar.



Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Rancangan KUHP Baru, Pidana Kerja Sosial dapat dijatuhkan dalam hal:

1. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan. Dengan demikian dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara lebih dari 6 bulan, maka Pidana Kerja Sosial tidak dapat dijatuhkan.

2. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Denda yang tidak melebihi Kategori I.



Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Baru:

Dalam hal Hakim akan menjatuhkan Pidana Kerja Sosial perlu diperhatikan berbagai hal. Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan agar Pidana Kerja Sosial dapat benar-benar dapat dijalankan.



Bertolak dari berbagai keistimewaan Pidana Kerja Sosial tersebut, sekalipun merupakan suatu “Pidana”, Pidana Kerja Sosial tidak bersifat forced labour. Pidana Kerja Sosial merupakan bentuk Pidana yang sarat dengan muatan perlindungan hak asasi manusia.

Karenanya Pidana Kerja Sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana (perampasan kemerdekaan) yang ditawarkan dalam pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Labels: ,

Sekilas Tentang UU Penghapusan KDRT

Sekilas TENTANG UNDANG - UNDANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.

1. Apa sih Kekerasan dalam Rumah Tangga itu?

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

2. Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

3. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga

4. Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

5. Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)

6. Apa yang dimaksud kekerasan seksual?

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

7. Apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga?

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

8. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?

Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

9. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?

Ya. Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

10. Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?

Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).

11. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

12. Bagaimana mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Labels: ,

Saturday, June 2, 2007

Apa Itu Komnas HAM?



Tentang Komnas HAM

Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Komnas HAM bertujuan : a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
b meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari Sidang paripurna dan Subkomisi. Di samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.

SIDANG PARIPURNA a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
b meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

SUBKOMISI

Sejak berdirinya pada 1993 hingga awal Juni 2004 kegiatan Komnas HAM dilaksanakan oleh Subkomisi yang dibentuk berdasarkan fungsi Komnas HAM, yakni Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Subkomisi Penyuluhan, Subkomisi Pemantauan, dan Subkomisi Mediasi. Kemudian, Sidang Paripurna Komnas HAM dalam rapatnya 2-3 Juni 2004 memutuskan melakukan restrukturisasi Subkomisi Komnas HAM. Subkomisi yang direstrukturisasi tidak lagi didasarkan pada fungsi Komnas HAM melainkan pada kategori HAM dan kelompok dalam masyarakat yang perlindungan hak asasi manusianya perlu mendapat perhatian khusus.

Subkomisi menurut struktur baru ini adalah sebagai berikut :

1. Subkomisi Hak Sipil dan Politik;
2. Subkomisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
3. Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus

Menurut struktur baru tersebut masing-masing subkomisi melaksanakan keempat fungsi Komnas HAM yakni pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. Studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. Kerja sama dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam bidang pemantauan,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.


Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Perdamaian kedua belah pihak;
b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. Ppenyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.


Landasan Hukum Komnas HAM
Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi ,keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Di samping kewenangan menurut UU No 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan dikeluarkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Instrumen Acuan
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang guna mencapai tujuannya Komnas HAM menggunakan sebagai acuan instrumen-instrumen yang berkaitan dengan HAM, baik nasional maupun Internasional.
Instrumen nasional:
a. UUD 1945 beserta amendemennya;
b. Tap MPR No. XVII/MPR/1998;
c. UU No 39 Tahun 1999;
d. UU No 26 tahun 2000;
e. Peraturan perundang-undangan nasional lain yang terkait.

Instrumen Internasional:
a. Piagam PBB, 1945;
b. Deklarasi Universal HAM 1948;
c. Instrumen internasional lain mengenai HAM yang telah disahkan dan diterima oleh Indonesia.




Awal Pembentukan (1993)

Pada tanggal 7 Juni 1993 Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto, lewat Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan pada saat yang sama menunjuk pensiunan Ketua Mahkamah Agung RI, Ali Said, untuk menyusun Komisi tersebut dan memilih para anggotanya. Keputusan Presiden ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai Departemen Luar Negeri RI dan PBB yang diadakan di Jakarta pada 22 Januari 1991.

Pada tanggal 7 Desember 1993, setelah melalui proses panjang perekrutan, akhirnya diperoleh 25 (dua puluh lima) nama yang merupakan figur nasional dan ditunjuk sebagai anggota KOMNAS HAM. Berdasarkan Keppres No. 455/M Tahun 1993, keduapuluh lima nama tersebut adalah:
1. Hj. Aisyah Amini, S.H.
2. Dr. Albert Hasibuan, S.H.
3. Ali Said, S.H.
4. Asmara Nababan, S.H.
5. Prof. Dr. Baharudin Lopa, S.H.
6. Drs. Bambang W. Soeharto
7. Dr. H. A.A. Baramuli, S.H.
8. Clementino Dos Reis Amaral
9. Ig. Djoko Moelyono
10. H.R. Djoko Soegianto, S.H.
11. Gani Djemat, S.H.
12. Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H.
13. K.H. Hasan Basri
14. Prof. Dr. Ch. Himawan, S.H.
15. B.N. Marbun, S.H.
16. Marzuki Darusman, S.H.
17. Prof. Miriam Budiardjo, M.A.
18. Prof. Dr. Muladi, S.H.
19. Munawir Sjadzali, S.H.
20. Dr. Nurcholis Madjid
21. Dra. Roekmini Koesoemo Astoeti
22. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
23. Soegiri, S.H.
24. Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, M.P.A
25. Prof. Dr. H.R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H.

Pada tanggal 10 Desember 1993 dalam rapat pleno pertama, terpilih Ali Said sebagai Ketua, Miriam Budiardjo dan Marzuki Darusman sebagai Wakil Ketua. Sekretaris Jenderal dijabat oleh Baharudin Lopa. Hasil pleno ini dikukuhkan dengan Keppres No.476/M Tahun 1993.

Pada tanggal 3 Januari 1994, Komnas HAM mengadakan sidang pleno kedua yang menghasilkan susunan kepemimpinan, pembagian kerja, dan bagan organisasi KOMNAS HAM.

Pembagian Kerja KOMNAS HAM

Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan masing-masing oleh:
1. Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Masyarakat
Dengan tugas pokok: memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional, tentang konsep dasar hak asasi manusia lewat aparat pemerintah, lembaga swasta, pihak akademisi dan non akademik.
Bidang kerja: mencakup penyebarluasan hak asasi manusia, mengamati dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia.
Kegiatan tersebut terutama dilakukan lewat ceramah, seminar dalam berbagai kesempatan. Saat itu penerbitan bahan-bahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia masih dalam tahap persiapan , termasuk seri siaran lewat TV.
2. Sub Komisi Pengkajian Instrumen HAM
Tugas pokok: mengkaji berbagai perjanjian dan konvensi PBB dalam bidang HAM, yang selanjutnya diteruskan penanganannya kepada pihak yang berwenang.
Sampai saat itu Komnas HAM telah menyarankan kepada Pemerintah RI untuk menerima dan meratifikasi dua konvensi:
a). Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD, 1965)
b). Konvensi Anti Penyiksaan (CAT, 1984)
3. Sub Komisi Pemantauan Pelaksanaan HAM
Tugas pokok: memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM di Indonesia secara aktif dan segera mengambil langkah-langkah pemulihannya.
Saat itu kegiatan yang dilakukan: menanggapi kasus pencabutan SIUPP majalah berita (termasuk Tempo) pada 22 Juni 1994.

Tugas pokok lainnya merupakan titik simpul kegiatan Komnas HAM, yaitu:
- memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran kepada aparat pemerintah yang terkait atau kepada badan di mana terjadi pelanggaran HAM. Saat itu Komnas HAM meneruskan temuannya terkait kasus Marsinah kepada instansi penyidik yang menangani kasus tersebut.
- mengadakan kerjasama dengan badan-badan regional dan internasional yang mengembangkan dan melindungi HAM.



Visi dan Misi Komnas HAM

Visi Komnas HAM adalah:

Terwujudnya Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia bagi Semua

Misi Komnas HAM adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kinerja Komnas HAM menjadi lembaga yang profesional, berwibawa, dan dipercaya oleh masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
  2. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi terwujudnya perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dalam masyarakat yang terintegrasi agar mampu berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan.
  3. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan pemegang kepentingan (stakeholders)bagi perlindungan dan penegakan HAM.


Rencana Strategis 2004-2008

Komnas HAM telah menyusun Rencana Strategis Komnas HAM 2004–2008. Isu-isu strategis Komnas HAM 2004–2008 yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kinerja
Peningkatan mutu kinerja Komnas HAM agar kepercayaan publik meningkat.
2. Perlindungan dan penegakan HAM Peningkatan mutu pelayanan Komnas HAM terhadap korban pelanggaran HAM. Pencegahan, perlindungan, dan penyelesaian kasus HAM.
3. Penegakan hukum Rekomendasi kepada pemerintah untuk mengesahkan instrumen-instrumen HAM internasional. Pemantauan pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang telah disahkan pemerintah.
4. Pelembagaan
Fasilitasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berbasis HAM (rights-based development).
5. Pemberdayaan
Diseminasi nilai-nilai HAM kepada masyarakat dan aparatur negara.
6. Jaringan
Perluasan, pemeliharaan, dan pengembangan jaringan pemegang kepentingan (stakeholders) lembaga dan pegiat HAM.

Tujuan Strategis Komnas HAM 2004–2008 adalah sebagai berikut:
1. Optimalisasi pelaksanaan fungsi dan tugas Komnas HAM, dengan menggunakan indikator yang menyangkut mutu pelayanan, sistem manajemen yang berbasis teknologi informasi, dan ketersediaan sumber daya organisasi yang memadai.
2. Terwujudnya kondisi yang kondusif bagi peningkatan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
a. terselenggaranya sistem peradilan yang kredibel;
b. terwujudnya perundang-undangan yang berorientasi pada perlindungan HAM;
c. terjadinya pemantapan peran dan fungsi perwakilan Komnas HAM di daerah;
d. tertanganinya pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights);
e. terdapatnya kriteria dan indikator pelanggaran HAM yang jelas bagi semua
pemegang kepentingan (stakeholders);
f. terjadinya percepatan pengesahan instrumen HAM internasional;
g. terselenggaranya pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan HAM secara berkelanjutan; dan
h. tercapainya rekonsiliasi dan perdamaian di daerah konflik.
3. Terciptanya sinergi antara Komnas HAM dan pemegang kepentingan (stakeholders) dengan menggunakan indikator yang menyangkut jaringan kerja sama, manajemen komunikasi dan informasi, serta keterlibatan aktif pemegang kepentingan (stakeholders) dalam penyelesaian permasalahan HAM.


Labels: