Jurnal Hukum

Thursday, May 29, 2008

TINJAUAN YURIDIS UU NO 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS



BAB I
LATAR BELAKANG


I.I Pendahuluan

kemerdekaan pers (atau sering juga disebut dengan kebebasan pers) di Indonesia yang berlaku semenjak reformasi bergulir telah meninggalkan efek, baik positif maupun negatif di masyarakat. Kemerdekaan pers dikatakan positif, karena pers yang yang merdeka seperti yang kita rasakan hari ini memanjakan masyarakat sebagai user informasi dengan informasi-informasi penting yang di zaman orde baru mustahil dikonsumsi publik secara terbuka. Dampaknya, salah satunya, ruang bagi pengambil kebijakan untuk membohongi publik demi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok, tidak lagi terbuka lebar. Sebaliknya, kemerdekaan pers yang belaku hari ini (orang juga sering menyebutnya sebagai kebebasan pers yang kebablasan) secara faktual seringkali memosisikan dirinya sebagai hakim bahkan eksekutor atas berita-berita yang dilansirnya, trial by press. Orang yang terberitakan acap kali menjadi bulan-bulanan pemberitaan pers yang belum tentu terjamin kebenarannya. Seringkali, atas nama kebebasan pers, sebuah media massa begitu digdaya di tengah lemahnya orang atau pejabat publik yang diberitakannya.

Di negara demokrasi, pers mempunyai pengaruh cukup signifikan di tengah masyarakat. Informasi yang disampaikannya dapat mempengaruhi individu atau kelompok, secara langsung ataupun tidak langsung. Selain sebagai media untuk memberi informasi bagi publik dan menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat, pers juga berfungsi melakukan kontrol sosial. Tidak hanya terhadap perilaku aparat negara, tapi juga masyarakat. Sebelum reformasi, meskipun telah ada pernyataan bahwa kemerdekaan dan kebebasan menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD1945, namun masih sebatas janji, karena bergantung pada undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Pada era reformasi, pasca dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, pengakuan akan kebebasan berpendapat baru secara eksplisit dijamin dalam konstitusi. Pers sebagai pilar keempat demokrasi, juga telah dijamin kemerdekaannya dan diakui keberadaannya oleh UUD 1945, seperti halnya tiga pilar demokrasi lainnya, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Seperti yang telah kita ketahui, UU No 40 Tahun 1999 mengawali masa baru dunia pers Indonesia, yaitu masa kebebasan Pers di Nusantara. UU ini benar-benar membawa perubahan yang besar karena dikeluarkan setelah pers melalui era kepemimpinan otoriter dimana kebebasan pers benar-benar tunduk dibawah pemerintahan yang berlaku. Sebelum UU ini keluar, aturan untuk menerbitkan suatu media pemberitaan sangatlah ketat. Belum lagi adanya pengawasan penuh pemerintah terhadap isi pemberitaan yang dapat mengakibatkan dibrendelnya suatu media hanya karena artikel dari media tersebut dinilai tidak berpihak kepada pemerintah yang berkuasa saat itu. Tidak heran, jika kemudian pihak pers menyambut antusias UU ini. Melalui UU No. 40 tahun 1999 ini, diharapkan dunia pers Indonesia dapat berkembang dengan lebih baik, demokratis, dan kredibel karena tidak berpihak pada kelompok tertentu, termasuk pemerintah, atau dengan kata lain pers diharapkan mampu bersikap netral.

Namun penerapan UU Pers di tataran hukum Indonesia tidak seperti yang diharapkan, banyak pro dan kontra yang terjadi di masyarakat. Perdebatan apakah UU Pers dapat digunakan sebagai lex specialis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah, masih terus berlangsung dan belum menemukan titik temu. Sementara, jumlah jurnalis yang terkena jerat pasal itu kian bertambah. Jurnalis dari beberapa media memang dijerat dengan pasal-pasal pidana dalam KUHP, khususnya pasal pencemaran nama baik dan penghinaan akibat berita yang ditulisnya. Hal itu, ditambah dengan "hujan" gugatan perdata pada media, menyentakkan kalangan pers.



I.II Pembatasan Masalah

  • Layakkah UU no 40/1999 Tentang Pers sebagai "Lex Speciali" ?
  • Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU pers ?




BAB II
PEMBAHASAN



II.I Tepatkah UU Pers sebagai Lex Specialis
Di dunia hukum ada adagium yang mengatakan hukum yang bersifat khusus akan menggantikan hukum yang bersifat umum. Atau sering disebut Lex specialis derogat legi generali. Artinya, setiap hukum yang memang mengatur suatu masalah secara khusus dan mendalam, maka akan menggantikan hukum yang telah dipakai namun bersifat umum.

Di dunia pers, kita ketahui bahwa sampai saat ini banyak kalangan jurnalis menginginkan agar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 atau lebih dikenal dengan UU Pers, harus menjadi Lex specialis untuk menyelesaikan sengketa pers. Selama ini pemerintah memang masih menggunakan KUHP sebagai dasar penyelesaian sengketa hukum.

Banyak kalangan jurnalis menolak penggunaan KUHP dalam penyelesaian sengketa, karena ancaman hukuman yang diberikan kepada insan pers berupa ancaman pidana. Menurut mereka seharusnya masalah pertikaian pers harus diselesaikan dengan cara pers juga. Salah satu mekanisme penyelesaian itu dikenal dengan istilah Hak Jawab.

Keputusan MK mengenai kontroversi UU Pers yang memutuskan bahwa UU Pers merupakan "Lex Specialis" merupakan era yang cerah bagi kalangan pers. Keputusan tersebut layaknya seperti angin surga bagi kalangan pers. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada lagi wartawan yang dipenjarakan. Dan kebebasan pers pun terbentuk dengan baik.

Tapi, di lain pihak ada juga tokoh-tokoh pers tidak setuju dengan penerapan UU Pers sebagai Lex Specialis. Alasannya, UU Pers terlebih dahulu harus direvisi, karena dalam UU Pers tidak cukup lengkap memasukkan sanksi-sanksi atas sengketa pers. Kurang lengkapnya UU Pers itu memang sangat wajar. Sebab, UU Pers dibentuk dalam suatu keadaan yang darurat. Saat itu Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membentuk undang-undang tersebut. Alhasil, undang-undang tersebut hanya melindungi pihak-pihak tertentu dan tidak memecahkan persoalan yang ada. Yaitu bagaimana perlindungan terhadap narasumber yang telah dirugikan.

Di dalam dunia hukum pidana, kejahatan bisa terwujud dalam beberapa bentuk. Diantaranya berupa niatan, perbuatan bahkan juga sebuah tulisan. Kejahatan juga selalu mengalami peningkatan baik kualitas dan kuantitas. Alhasil, saat ini ada berbagai macam bentuk tindak pidana baru. Begitu juga dengan dunia pers. Saat ini penyalahgunaan berta memang banyak terjadi. Bahkan, dengan makin majunya dunia pers atau media massa, banyak terjadi bentuk-bentuk baru kesalahan berita yang merugikan narasumber atau orang yang diberitakan. Contohnya berita yang bisa merugikan keadaan fisik dan moril seseorang. "Apakah penggunaan hak jawab mampu menjawab permasalahan". Tentu saja hal tersebut tidak cukup bukan.

Sebagian orang beranggapan UU Pers merupakan aturan khusus menyangkut dunia Pers, sedangkan KUHP merupakan aturan umumnya. Dalam konteks “Lex specialis derrogat lex generalis”, berarti pihak pers yang melakukan tindak pidana tidak dapat dijerat menggunakan KUHP tetapi harus menggunakan UU Pers. Benarkah pendapat itu? Untuk mengujinya, mari kita lihat pasal-pasal di dalam UU No. 40 Tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana dan membandingkannya dengan pasal-pasal pidana yang sering dipergunakan dalam menjerat pihak pers. UU No. 40 Tahun 1999 memuat 1 pasal tentang ketentuan pidana, yakni Pasal 18, yang terdidir dari 3 ayat.
Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.
==>Ayat (1) ini mengatur tentang setiap orang atau siapa saja yang menghambat insan pers dalam menjalankan fungsinya. Misalnya, penguasa arogan yang melakukan pembredelan terhadap persuhaan pers. Atau, bagi siapa saja yang menghalang-halangi insan pers dalam mendapatkan informasi, akan dikenakan sangsi pidana (pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00). Dengan demikian, ayat (1) tidak mengatur tentang pidana pers atau pidana yang dilakukan oleh insan pers.
Ayat (2): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan ancaman bagi setiap perusahaan pers memberitakan:
a. peristiwa dan opini yang tidak menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat;
b. azas praduga tak bersalah; serta

Kemudian perusahaan pers juga diancam pidana denda karena sikapnya:
a. yang tidak melayani hak jawab, dan
b. yang memuat iklan yang telarang, misalnya iklan yang merendahkan martabat seseorang.

Yang menjadi fokus anacaman pidana di sini adalah perusahaan pers, bukan wartawan yang membuat berita di sebuah media massa. Karena fokusnya adalah perusahaan, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda. Lalu, bagaimana dengan wartawan si pembuat berita? Secara hukum, Pasal 18 ayat (2) ini tidak bisa menjerat si wartawan yang menulis berita.
Dalam teknis penulisan berita di media massa, ada perusahaan pers yang mencantumkan langsung nama wartawan yang menulis berita (by line) dan ada pula yang sekedar membuatkan inisial atau kode si penulis berita. Menurut saya, dua teknis penulisan ini melahirkan dua konsekuensi hukum yang berbeda pula. Pola yang pertama, by line, tanggung jawab hukum isi berita terletak pada si penulis berita dan perusahaan pers, yang dalam hal ini diwakili oleh pimpinan redaksi. Sedangkan pola yang kedua, secara total tanggung jawab isi dari berita tersebut berada di pundak perusahaan.
Konsekuensi hukum selanjutnya adalah, berita yang ditulis dengan gaya by line tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban sempurna di bawah UU No. 40 Tahun 1999, karena UU ini tidak mengandung pertanggungjawaban personal sebagaimana yang berlaku di pidana umum. Yakni, tangan mencincang bahu memikul; siapa yang berbuat dia yang bertanggung jawab.
Ayat (3): “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah)”.

Ketentuan ini merupakan sangsi yang dapat dijatuhkan kepada perusahaan pers yang tidak berbadan hukum dan tidak mencantumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya.
Menyimak Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) tersebut di atas, UU Pers tidak memuat ketentuan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik yang ditujukan atau pertanggungjawaban hukumnya dimintakan kepada personal atau orang yang secara langsung melakukan indikasi tindak pidana. Penghinaan dan Pencemaran nama baik hanya diatur di beberapa pasal dalam KUHP, seperti Pasal 310-311 dan Pasal XIV-XV UU No. 1 Tahun 1946. Dengan demikian, tentu prinsip “Lex specialis derrogat lex generalis” tidak berlaku.

Selain itu, terlepas dari analisis di atas, UU pers ini memang belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan berlakunya UU lain. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 12 tertulis, "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku." Yang dimaksud tentulah KUHP.
kemudian coba lihat dalam penjelasan tentang hal umum dinyatakan dengan jelas pada alinea terakhir, "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya." Itu maknanya, UU yang diberlakukan secara lex specialis harus dinyatakan dengan jelas, entah itu di batang tubuh ataupun di penjelasannya.
"Itu mengatakan dengan tegas bahwa Undang-undang ini bukan lex specialis, jadi harus ada perubahan kalau mau dijadikan lex specialis,"


II.II Kekurangan/kelemahan dan kelebihan UU Pers

Selanjutnya kita akan menganalisa lebih dalam mengenai kekurangan, kelebihan UU No. 40 tahun 1999 dan kaitannya dengan kondisi media di Indonesia saat ini.

Kelebihan dari UU No.40 tahun 1999
  1. Kalangan pers tetap diwajibkan untuk memiliki kode etiknya sendiri, sehingga walaupun sekarang Pemerintah tidak lagi mampu untuk melakukan penyensoran kepada pers nasional, namun terdapat situasi saling mengingatkan diantara kalangan pers tersebut, termasuk di dalamnya Dewan Pers, untuk menghadirkan informasi yang sesuai dan bermutu. (UU no.40 tahun 1999 Bab III Pasal 7)
  2. Pers Asing tidak memiliki kekebalan terhadap penyensoran sehingga harus melakukan nasionalisasi perusahaan atau membuka cabang yang berbadan hukum Indonesia namun berasosiasi dengan perusahaan pers asing di negara asalnya. Akibatnya tidak mungkin terjadi monopoli informasi oleh media asing.( UU no.40 tahun 1999 Bab VI Pasal 16)
  3. UU no 40 tahun 1999 membuka jalan baru bagi kebebasan Pers Indonesia. Aturan yang berlaku di dalamnya adalah angin segar bagi kalangan pers untuk mampu berlomba-lomba memberikan berita yang paling akurat, benar dan beretika.


Kelemahan dari UU No.40 tahun 1999
  1. Tidak adanya aturan mengenai sentralisasi kepemilikan media, sebagai akibatnya sekarang terjadi sentralisasi kepemilikan media kepada golongan tertentu di Indonesia. Padahal sentralisasi kepemilikan media dapat berefek pada termonopolinya informasi, atau pengendalian arus informasi oleh kalangan tertentu sehingga pada akhirnya informasi yang diperoleh oleh masyarakat hanyalah informasi yang telah disusun oleh sekelompok pihak dengan kepentingan mereka masing-masing. Masyarakat hanya mengetahui kenyataan yang sepotong alias tidak utuh dan akhirnya mendorong masyarakat untuk memiliki persepsi yang diinginkan oleh kelompok kepentingan yang memiliki media ini. Padahal di Amerika Serikat, sebagai contoh, aturan mengenai kepemilikan media sangatlah jelas. Tidak diperbolehkan satu orang atau satu pihak untuk menguasai penuh banyak media atau memonopolinya. Sehingga bahkan Robert Murdoch yang dijuluki sebagai Raja Media dan memiliki sahamnya di banyak media pun hanya bisa memperoleh persentase kepemilikan di masing-masing media yang dimilikinya kurang dari 50 persen.
  2. Tidak adanya aturan khusus dan menyeluruh mengenai tata cara pendirian sebuah media, sehingga sebagian institusi media atau perusahaan pers didirikan sebagai alat pencucian uang untuk sebagian oknum masyarakat Indonesia.Walaupun mendirikan perusahaan Pers adalah suatu hak dan kebebasan bagi setiap warga negara Indonesia, namun tetap harus ada aturan dan persyaratan yang jelas. Misalnya mengenai sumber dana pendirian perusahaan Pers, atau latar belakang orang yang mendirikannya sehingga tidak terjadi penyalahgunaan hukum yang mengakibatkan pendirian sebuah perusahaan Pers hanya untuk kedok pencucian uang saja. (Bab IV UU no.40 tahun 1999)
  3. Keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Presiden. Sehingga independensi Dewan Pers menjadi dipertanyakan. Karena dengan kata lain berarti Presiden berhak menaruh orang-orang pilihannya di sebuah lembaga yang seharusnya melindungi dan mengembangkan kebebasan pers. Jika Presiden yang berwenang adalah orang yang demokratis maka aturan ini tidak akan menimbulkan masalah, namun jika Presiden yang berkuasa adalah seorang yang otoriter, maka aturan ini dapat menjadi bumerang bagi kebebasan Pers. (UU no.40 tahun 1999 Bab V Pasal 15)
  4. Walaupun sebagian hukum yang tertulis sudah cukup baik, namun pelaksanaannya masih belum diterapkan dengan sebagaimana yang seharusnya.

Tapi secara umum, undang-undang ini telah membuka harapan akan dunia pers Indonesia yang lebih baik


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan Dan Saran

Dari uraian yang telah saya sampaikan diatas dapat kita simpulkan bahwa UU NO 40 Tahun 1999 Tentang Pers memang memiliki berbagai kekurangan, salah satu solusinya adalah dengan melakukan revisi terhadap UU tersebut. Tetapi revisi itu nantinya jangan sampai mengurangi kebebasan pers yang sudah ada. Setelah revisi, pemberlakuan UU Pers sebagai "Lex Specialis" merupakan suatu langkah yang wajib dilakukan pemerintah. Karena dengan itu, pemerintah baru bisa disebut benar-benar menunjukkan komitmennya dalam mendukung kebebasan pers di Indonesia.
Satu kelemahan yang lain di negeri kita adalah pekerjaan ikutannya, yaitu sosialisasi UU. Penyebutan semua orang dianggap tahu bila naskah undang-undang sudah dimuat di lembaran negara tidaklah cukup. Lembaran negara dicetak terbatas. Tidak banyak orang yang segera mengetahuinya. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim pertama-tama harus terus menerus memahami UU yang baru. Sering polisi yang sedang memeriksa kasus tidak tahu UU Pers sudah berumur lima tahun. Jika hamba hukum saja belum tahu, apalagi masyarakat.


Monday, May 26, 2008

]Tanggal 16 April 1996, Munir menjadi pendiri Komosi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) serta menjadi Koordinator Badan Pekerja di LSM ini. Di lembaga inilah nama Munir mulai bersinar, saat dia melakukan advokasi terhadap para aktifis yang menjadi korban penculikan rejim penguasa saat itu. Perjuangan Munir tentunya tak luput dari berbagai teror berupa ancaman kekerasan dan pembunuhan terhadap diri dan keluarganya. Usai kepengurusannya di KontraS, Munir ikut mendirikan Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia, Imparsial, di mana ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Saat menjabat Koordinator KontraS namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktifis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Suharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus (waktu itu) Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota Tim Mawar.

Atas perjuangannya yang tak kenal lelah, dia pun memperoleh The Right Livelihood Award di Swedia (2000), sebuah penghargaan prestisius yang disebut sebagai Nobel alternatif dari Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang pemajuan HAM dan Kontrol Sipil terhadap Militer di Indonesia. Sebelumnya, Majalah Asiaweek (Oktober 1999) menobatkannya menjadi salah seorang dari 20 pemimpin politik muda Asia pada milenium baru dan Man of The Year versi majalah Ummat (1998).Munir, SH pejuang Hak Asasi Manusia ini lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965.

Mengemukanya Calon Independent non Parpol

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan tak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak uji materiil terhadap UU No. 32/2004 terkait calon independen. Konstitusi tidak mengatur secara khusus tentang asal usul calon kepala daerah.
"Dalam konstitusi tidak masalah. Mahkamah Konstitusi harus mengerti betul aspirasi ini," katanya usai diskusi Menunggu Calon Independen Jakarta, di Time Break Cafe, kemarin.
Menurutnya, dalam konteks menjadi kandidat, dibandingkan dengan pemilihan presiden, secara implisit UUD 1945 memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk menjadi calon kepala daerah. Kesempatan itu dapat dibaca dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari partai politik.
"Dalam konstitusi, disebutkan calon presiden memang harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Tetapi untuk kepala daerah tidak ada pembatasan," katanya. Tidak adanya aturan dukungan partai bagi calon kepala daerah ini, tambahnya, membuka jalan pasangan calon independen.
Alasan kedua, kata dia, sebelumnya Mahkamah pernah mengabulkan penjelasan pasal 59 UU No. 32/2004 yang membatasi calon kepala daerah itu dari partai politik atau gabungan partai politik yang ada kursinya di DPR.
Alasan ketiga, perdebatan pilkada itu masuk sistem pemilu atau sistem pemerintah daerah, tetapi diputuskan oleh Mahkamah bahwa itu bisa masuk ke sistem pemilu. "Jadi ada pemikiran-pemikiran yang mengarah mendukung calon independen," katanya.
Menurutnya, dengan adanya pembatasan calon independen, hak warga negara dikurangi. "Ini reduksi amat sangat yang menghilangkan hak-hak konstitusional warga negara," tegasnya.
Saldi mengatakan, walaupun calon independen untuk pilkada DKI belum dapat dilakukan, paling tidak bisa diproyeksikan untuk daerah lain atau kesempatan pemilihan berikutnya. "Tetapi saya optimis MK akan mengabulkannya," kata dia.

================================================================================

Menyambung gagasan Dr Arief Budiman yang menyatakan perlunya ditampung dalam UU Pemilu adanya kemungkinan calon Presiden/Wakil Presiden (capres/cawapres) independen yang tidak dari partai-partai politik yang ada. Alasan yang tersirat, antara lain, bila mengandalkan "stok" calon presiden dari alur pencalonan partai-partai yang ada, akan mendapat hasil (Presiden/Wakil Presiden) yang tidak memuaskan di tahun 2004-2009 (Kompas, 4/7/2002), saya dapat menyetujui gagasan itu dan ingin menyampaikan renungan tentang soal ini lebih lanjut.

Memang UUD kita (yang telah diamandemen tiga kali) memungkinkan calon independen ini, meski perlu partai politik atau gabungan partai politik untuk mendukung, atau lebih tepat mencalonkannya (Pasal 6A Ayat 2). Tetapi, justru karena pasal ini, calon independen menjadi amat kecil peluangnya diajukan dalam pemilu untuk presiden/wakil presiden RI mendatang. Padahal, bukan hanya dalam konteks kompetisi demokratik saja tetapi juga konteks kebutuhan kepemimpinan Indonesia saat ini, calon independen diperlukan.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah ada capres/cawapres yang tersedia yang memenuhi harapan seperti tersirat dalam pernyataan Arief Budiman. Arief Budiman mengajukan nama Nurcholish Madjid. Ali Sadikin juga mencalonkan Nurcholish Madjid. (Tempo, 30/6/2002). Sementara itu, di kalangan Gerakan Jalan Lurus yang dikoordinir Dr Sulastomo juga diinventarisasi nama-nama seperti Syafei Maarif, Sulastomo, Salahuddin Wahid, selain Nurcholish Madjid. Pada kalangan lain dibincangkan juga tokoh-tokoh muda yang amat peduli terhadap nasib bangsa dan masyarakat seperti Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra dan sebagainya, sebagai tokoh-tokoh yang layak untuk ditawarkan sebagai calon-calon (independen) guna memimpin RI di masa datang.

Bila tokoh-tokoh itu dimunculkan, amat dapat dimengerti karena kebutuhan kepemimpinan nasional saat ini. Indonesia memerlukan kelompok kepemimpinan nasional di masa datang, yang seyogianya ada di tangan kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan spiritual bukan pemimpin keagamaan tertentu tetapi tokoh-tokoh yang berbobot spiritual tinggi, mempunyai kesalehan sosial dan integritas moral luhur. Bila di dunia demokrasi Barat muncul Partai Kristen Demokrat yang memimpin Pemerintahan Negara, wajar bila di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam masyarakat pluralistik, kepemimpinan nasional itu ada di tangan Islam-demokrat, yakni tokoh-tokoh yang berasal dari petarangan Islam dan menganut faham demokratik, tidak Theokratik, otokratik, apalagi tiranik.

Tokoh-tokoh ini yang menampilkan pasangan capres/cawapres yang independen. Pasangan ini sekaligus memperkenalkan platform politik nasional yang mencakup kepentingan semua golongan, all inclusive. Bahkan, dalam pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden sudah disertai "kabinet atau pendukung-pundukungnya yang pluralistik", terdiri orang-orang nasionalis, technosoof, budayawan yang berperikemanusiaan, intelektual yang kritis bertanggung jawab, dan pengusaha yang tidak "hitam". Dari pendukung-pendukung ini disusun "suatu Kabinet" berdasarkan meritokrasi.

Kalau pasangan capres/cawapres independen itu ada, renungan berikutnya adalah: apakah pencalonan independen ini dapat terwujud? Jawabannya, tidak! Karena, terhambat Pasal 6A Ayat (2) UUD. Dapat dipastikan tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mau mencalonkan calon independen ini. Partai-partai politik pasti akan amat disibukkan oleh calon-calon yang berasal dari tokoh-tokoh mereka sendiri.

***

Sebenarnya ada kemungkinan untuk melakukan terobosan yang mengakomodasi hasrat sehat rakyat. Kemungkinan pertama, dengan mengamandemen Pasal 6A Ayat (2) sehingga membuka peluang pencalonan independen pasangan capres/cawapres dengan tanpa tergantung dukungan partai atau gabungan partai politik. Tetapi ini bisa menjadi "lucu" terutama karena Pasal 6A Ayat (2) yang merupakan hasil amandemen, dan belum pernah dijalankan, sudah harus diamendir lagi. Bila ini dilakukan, itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak tersistematiknya proses reformasi konstitusi yang dilakukan kini.

Kemungkinan terobosan yang lain adalah DPR dan Presiden berani membuat Undang-Undang Pemilu yang mengakomodasi keperluan pencalonan independen ini. Dasarnya, Negara RI adalah negara hukum; artinya hukum yang berdaulat, dan bagian dari hukum yang berdaulat adalah undang-undang. Apalagi diingat, sistem MPR sudah ditinggalkan UUD yang telah diamandemen. Ini membutuhkan bukan saja kemauan tetapi lebih dari itu, keberanian DPR dan Presiden untuk menyerap dan memenuhi hasrat sehat publik Indonesia. Bila kemauan dan keberanian ini tidak ada, inilah nasib demokrasi kita!

Persoalan terkait yang perlu juga menjadi bahan perenungan kita, kapan seyogianya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dilaksanakan. Jika kita konsisten dan patuh dengan UUD yang kita miliki kini, jelas dinyatakan, Presiden dan Wakil Presiden secara sepasang dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Bukankah UUD 1945 yang telah diamandemen tiga kali ini sudah berlaku? Jadi adanya pemikiran bahwa kini belum waktunya dilaksanakan atau supaya ditunda berlakunya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung, apa pun alasannya, adalah bertentangan dengan UUD.

Demikian pula, pemikiran yang berkembang mengenai perlunya Sidang Tahunan (ST) MPR mendatang, merumuskan pasal peralihan dalam UUD 1945 yang diamandemen, tentang pernyataan bahwa UUD 1945 yang sudah diamandemen I, II, III (dan mungkin IV) itu baru berlaku sesudah tahun 2004, tampaknya hanya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, kalaupun bukan oportunistik. Jika ini diterima ST MPR nanti, yang akan terjadi adalah ketidakadilan konstitusional, terutama bagi mereka yang sudah terkena akibat dari pelaksanaan pasal-pasal UUD yang sudah diamandemen, seperti nasib calon-calon duta besar yang sudah ditolak DPR berdasarkan Pasal 13 Ayat 2. Ini bila tidak mendapat koreksi hanya melanggengkan ketidakpastian/kesemrawutan konstitusi di Indonesia.

Begitu pula dalam semangat bahwa presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat, maka masuk akal bila putaran kedua juga dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan PDI-P yang menerima usulan bahwa putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dikembalikan kepada pemilih (rakyat) (Kompas, 9/7/2002), makin memberi kepastian pelaksanaan UUD secara konsekuen. Gagasan untuk menyerahkan putaran kedua pemilihan langsung pasangan presiden/wakil presiden kepada MPR, bertentangan sebenarnya dengan semangat UUD itu sendiri yang memberikan kepada MPR otoritas hanya untuk "seremoni" melantik presiden/wakil presiden terpilih.

========================================================================================

Pilkada Harus Buka Calon Independen

Jakarta, Kompas - Rencana Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dalam membuat aturan soal pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik kini menuai kritik. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan pemerintah daerah yang kotor.

Pengamat politik dari Pusat Studi Pengembangan Kawasan Laode Ida yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dari Sulawesi Tenggara termasuk yang tidak setuju. "Dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpol-lah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya," tuturnya, Rabu (4/8).

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) Deddy Supriady Bratakusumah juga menyatakan ketidaksetujuan dengan sistem satu pintu. "Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan alternatif bagi mereka yang ’bukan simpatisan parpol’ dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada," paparnya.

Atas dasar itu, menurut Deddy, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen. Kita juga sudah memiliki pengalaman dalam pemilihan anggota DPD. Pencalonan pintu independen langsung disampaikan ke panitia pemilihan kepala daerah.

Politik uang

Seperti diberitakan, dalam rapat Panitia Kerja terakhir, semua fraksi di DPR cenderung sepakat dengan pencalonan kepala daerah melalui satu pintu, parpol atau gabungan parpol.

Laode menilai, pencalonan pilkada melalui pintu parpol, akan melemahkan parpol. Soalnya, parpol tak akan memiliki kompetitor pengimbang dari luar. "Ini tidak akan menyehatkan parpol," ucap Laode.

Masyarakat pun "dipaksa" untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang "busuk". Politik uang yang sekarang banyak terjadi dalam proses pilkada akan terus berlangsung. Parpol yang telah menyiapkan diri sebagai kendaraan politik akan "disewa" calon indendepen yang punya banyak uang. (sut)

=================================================================

Calon Independen Harus Diperjuangkan
Senin, 11/06/2007

Gagal mengizinkan calon independen menjadi kontestan merupakan bencana bagi Pilkada DKI jika dilihat dari perkembangan demokrasi. Secara lebih luas,juga menandakan beratnya jalan ke arah demokrasi selama elite politik masih berpikir defensif.

Politik DKI belum digunakan untuk menampung keinginan orang biasa.Partai politik menjadi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Secara lebih skeptis, bisa dikatakan reformasi akan mandek karena hasil korupsi pemegang kekuasaan akan dilindungi terus oleh elite politik. Bila pemegang kekuasaan di suatu daerah tingkat I digantikan oleh yang baru, bisa ada harapan gubernur baru melakukan gerakan pembersihan pada awal masa jabatannya. Sebaliknya, bila pilkada menghasilkan gubernur yang satu kubu dengan gubernur lama, dengan sendirinya korupsi akan dibiarkan. Seorang penguasa baru dari kubu incumbent tidak berkepentingan melakukan pembersihan.

Mana bisa, karena yang harus dibersihkan itu justru senior yang menjadi sponsor kemenangan calon gubernur itu menjadi gubernur baru. Pilkada DKI sempat dihangatkan ketika beredar pikiran bahwa perlu ada calon ketiga, saat tahap pencalonan kelihatan akan mandek pada dua calon. Berbagai lembaga survei mengumumkan temuan bahwa lebih dari 70% pemilih menginginkan ada calon ketiga.Tidak dilaporkan lebih lanjut mengapa banyak keinginan ini.

Tapi sangat jelas salah satu sebabnya adalah kedua calon yang mapan itu tidak menarik untuk dipilih rakyat. Mengapa tidak? Cagub Fauzi Bowo adalah wakil gubernur incumbent yang didukung oleh Gubernur Sutiyoso. Kalau calon ini tampak kuat karena dari awal pemerintahan DKI dipakai sebagai mesin kampanye. Semua yang memerlukan dukungan gubernur digiring untuk mendukung Fauzi Bowo. Ini berlaku baik bagi perusahaan dagang yang diminta diamdiam untuk menyumbang dana kampanye sampai kepada stasiun televisi yang tidak berani berbeda pendapat sama sekali dengan gubernur dan wakil gubernur. Kasus penggunaan dana APBD untuk poster dan iklan kampanye gubernur hanya puncak gunung es berupa penyelewengan fasilitas pemerintah daerah untuk kampanye politik.

Fauzi Bowo adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman lama, sayang kapabilitas itu tidak dipakai. Keahlian yang dipakai bukan dalam pemerintah kota, tapi justru dalam pemanfaatan birokrasi dan uang. Pakar pemerintahan daerah dan komunikasi direkrut menjadi penasihat dan pelindung kampanye terselubung. Aneh sekali kalau Fauzi Bowo tidak menang. Suasana DKI di bawah Sutiyoso mirip dengan suasana Indonesia di bawah Orde Baru.Tidak ada pilihan masyarakat di luar yang diinginkan rezim berkuasa. Kita bisa mengatakan itu karena asumsi kita masyarakat sebagian besar tergantung pada kekuasaan gubernur.

Muncul calon kedua,Adang Daradjatun, yang sebetulnya memberikan angin segar karena dia dan pendukungnya termasuk sedikit orang yang tidak tergantung dan tidak takut pada kekuasaan gubernur sekarang.Apalagi, Adang Daradjatun bersikap terbuka dan responsif, rajin tampil di muka umum, bahkan di acara televisi kritis di mana Fauzi Bowo tidak berani muncul. Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan, mengapa dia begitu percaya diri, tidak tergantung pada fasilitas siapa pun. Beredarlah cerita, calon ini telah mengumpulkan uang banyak dan menyumbangkan uang dalam jumlah puluhan miliar kepada partai yang dipilihnya sebagai pendukung.

Susah juga diperoleh keterangan yang pasti,sebab menanyakan hal begitu dianggap tidak sopan dan mengeluarkan sinyalemen akan langsung diblokir oleh tantangan untuk mengeluarkan bukti. Lagipula, Adang menggunakan cara kampanye yang santun dan menunjukkan penghormatan kepada publik. Untuk sementara, fokus lebih ditujukan pada Fauzi Bowo dan Sutiyoso yang jelas melanggar etika komunikasi publik dengan berbagai taktik,mulai dari menyelundupkan orang ke dalam acara sosialisasi pilkada, menyewa pakar dengan ilmu yang menyesatkan,dan menghindari semua kesempatan untuk tampil dengan idenya. Orang banyak yang tahu Fauzi Bowo, dari wajahnya dan kumisnya yang khas, dan juga tahu dia rajin datang ke acara massal dan membagikan hadiah.Tapi tidak ada yang tahu apa programnya kalau jadi gubernur.

Anak buahnya pernah mengatakan Fauzi akan melanjutkan kebijakan Sutiyoso. Itu tidak mendapat sambutan hangat karena kebijakan sekarang justru menghasilkan penderitaan.Tapi kalau Fauzi mau bilang bahwa dia akan melakukan perombakan, tidak berani juga. Soalnya, Sutiyoso tidak merasa ada yang salah. Dia selalu menekankan bahwa hanya dia yang tahu cara memerintah DKI. Menghadapi bonek, harus dengan cara yang sama keras, merupakan parafrase dari ucapan kegemarannya.

Pemilih Mulai Malas

Pemilih mulai malas.Fauzi Bowo pasti akan jadi calon dan calon lawannya pasti Adang Daradjatun. Orang belum cukup lama mengenal Adang. Dari mana uangnya yang banyak itu? Apa dia korupsi selama menjadi orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi pengusaha.Menimbulkan pertanyaan juga. Usaha apa? Apakah suksesnya karena dia istri pejabat tinggi kepolisian? Walaupun tidak ditanyakan secara terbuka, pertanyaan tetap beredar.Harusnya ada yang menasihati Adang Daradjatun agar secara sukarela membeberkan kondisi keuangannya dan hubungannya dengan keuangan PKS. Dengan demikian, isu itu bisa hilang dari Pilkada.

Tapi kalaupun hilang isu itu, ada isu yang lain, yaitu masalah ideologi partai dan ideologi pribadi. Sebagai polisi, Adang harus bersikap sekuler, memisahkan negara dan agama.Moralitas pribadi harus diserahkan pada masingmasing individu.Negara hanya masuk di mana jelas ada rumus hukum. PKS mempunyai ideologi yang bertolak belakang. Justru kader mereka memandang dirinya sebagai pejuang partai bersih yang ingin menegakkan moralitas masyarakat melalui moralitas pribadi. PKS tidak mau memisahkan soal agama dengan soal negara.

Pribadi, negara, agama, harus disatukan menurut konsep mereka. Kalau mereka tidak melakukan itu, maka sifatnya adalah kompromi. Jadi, kalau PKS menyetujui Adang Daradjatun dalam ucapan terkenalnya bahwa dia tidak akan melarang kehidupan malam yang tidak halal, maka pasti persetujuan PKS itu taktis, sementara, dan tidak tulus. Ada kerawanan dalam hubungan Adang Daradjatun dengan PKS, dan sayang sekali kalau DKI harus menghadapi masalah semacam itu di samping masalah banjir, orang miskin,kemacetan lalu lintas,hak atas tanah, dan kaki lima.

Deadlock

Di antara dua calon itu, pemilih DKI menghadapi deadlock. Kedua kontestan akan main defensif, tidak akan ada yang maju dengan pemikiran baru untuk perbaikan kota.Hanya menunggu lawannya ambil langkah. Karena itu, rakyat DKI perlu calon ketiga,Tapi PAN dan PKB dan partai kecil melepaskan kesempatan menjadi penyelamat, dan sekarang satusatunya harapan adalah calon independen. Mahkamah Konstitusi tidak menyambut sejarah,tidak membuka kesempatan untuk mendukung adanya calon independen.Jadi orang sudah tidak tahu lagi,apa yang bisa dilakukan secara aktif. Secara pasif, orang bisa menyatakan kekecewaannya dengan tidak memilih.

Tapi itu bukan solusi yang membangun demokrasi. Bagaimanapun, calon independen harus diperjuangkan. Menang atau kalah, itu bukan soal. Jangan biarkan dua calon ini bersaing tanpa partisipasi pemilih. Dan jangan biarkan partai politik mencuri hasil reformasi 1998 dan menggantinya dengan kekuasaan baru oligarki politik.(*)

Wimar Witoelar Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Pengelola perspektif.net


Mengemukanya Calon Independent non Parpol

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra, mengatakan tak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak uji materiil terhadap UU No. 32/2004 terkait calon independen. Konstitusi tidak mengatur secara khusus tentang asal usul calon kepala daerah.
"Dalam konstitusi tidak masalah. Mahkamah Konstitusi harus mengerti betul aspirasi ini," katanya usai diskusi Menunggu Calon Independen Jakarta, di Time Break Cafe, kemarin.
Menurutnya, dalam konteks menjadi kandidat, dibandingkan dengan pemilihan presiden, secara implisit UUD 1945 memberikan kesempatan yang lebih terbuka untuk menjadi calon kepala daerah. Kesempatan itu dapat dibaca dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang tidak mengharuskan calon kepala daerah berasal dari partai politik.
"Dalam konstitusi, disebutkan calon presiden memang harus berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Tetapi untuk kepala daerah tidak ada pembatasan," katanya. Tidak adanya aturan dukungan partai bagi calon kepala daerah ini, tambahnya, membuka jalan pasangan calon independen.
Alasan kedua, kata dia, sebelumnya Mahkamah pernah mengabulkan penjelasan pasal 59 UU No. 32/2004 yang membatasi calon kepala daerah itu dari partai politik atau gabungan partai politik yang ada kursinya di DPR.
Alasan ketiga, perdebatan pilkada itu masuk sistem pemilu atau sistem pemerintah daerah, tetapi diputuskan oleh Mahkamah bahwa itu bisa masuk ke sistem pemilu. "Jadi ada pemikiran-pemikiran yang mengarah mendukung calon independen," katanya.
Menurutnya, dengan adanya pembatasan calon independen, hak warga negara dikurangi. "Ini reduksi amat sangat yang menghilangkan hak-hak konstitusional warga negara," tegasnya.
Saldi mengatakan, walaupun calon independen untuk pilkada DKI belum dapat dilakukan, paling tidak bisa diproyeksikan untuk daerah lain atau kesempatan pemilihan berikutnya. "Tetapi saya optimis MK akan mengabulkannya," kata dia.

================================================================================

Menyambung gagasan Dr Arief Budiman yang menyatakan perlunya ditampung dalam UU Pemilu adanya kemungkinan calon Presiden/Wakil Presiden (capres/cawapres) independen yang tidak dari partai-partai politik yang ada. Alasan yang tersirat, antara lain, bila mengandalkan "stok" calon presiden dari alur pencalonan partai-partai yang ada, akan mendapat hasil (Presiden/Wakil Presiden) yang tidak memuaskan di tahun 2004-2009 (Kompas, 4/7/2002), saya dapat menyetujui gagasan itu dan ingin menyampaikan renungan tentang soal ini lebih lanjut.

Memang UUD kita (yang telah diamandemen tiga kali) memungkinkan calon independen ini, meski perlu partai politik atau gabungan partai politik untuk mendukung, atau lebih tepat mencalonkannya (Pasal 6A Ayat 2). Tetapi, justru karena pasal ini, calon independen menjadi amat kecil peluangnya diajukan dalam pemilu untuk presiden/wakil presiden RI mendatang. Padahal, bukan hanya dalam konteks kompetisi demokratik saja tetapi juga konteks kebutuhan kepemimpinan Indonesia saat ini, calon independen diperlukan.

Pertanyaan pertama yang muncul adalah, apakah ada capres/cawapres yang tersedia yang memenuhi harapan seperti tersirat dalam pernyataan Arief Budiman. Arief Budiman mengajukan nama Nurcholish Madjid. Ali Sadikin juga mencalonkan Nurcholish Madjid. (Tempo, 30/6/2002). Sementara itu, di kalangan Gerakan Jalan Lurus yang dikoordinir Dr Sulastomo juga diinventarisasi nama-nama seperti Syafei Maarif, Sulastomo, Salahuddin Wahid, selain Nurcholish Madjid. Pada kalangan lain dibincangkan juga tokoh-tokoh muda yang amat peduli terhadap nasib bangsa dan masyarakat seperti Todung Mulya Lubis, Azyumardi Azra dan sebagainya, sebagai tokoh-tokoh yang layak untuk ditawarkan sebagai calon-calon (independen) guna memimpin RI di masa datang.

Bila tokoh-tokoh itu dimunculkan, amat dapat dimengerti karena kebutuhan kepemimpinan nasional saat ini. Indonesia memerlukan kelompok kepemimpinan nasional di masa datang, yang seyogianya ada di tangan kepemimpinan spiritual. Yang dimaksud kepemimpinan spiritual bukan pemimpin keagamaan tertentu tetapi tokoh-tokoh yang berbobot spiritual tinggi, mempunyai kesalehan sosial dan integritas moral luhur. Bila di dunia demokrasi Barat muncul Partai Kristen Demokrat yang memimpin Pemerintahan Negara, wajar bila di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam namun dalam masyarakat pluralistik, kepemimpinan nasional itu ada di tangan Islam-demokrat, yakni tokoh-tokoh yang berasal dari petarangan Islam dan menganut faham demokratik, tidak Theokratik, otokratik, apalagi tiranik.

Tokoh-tokoh ini yang menampilkan pasangan capres/cawapres yang independen. Pasangan ini sekaligus memperkenalkan platform politik nasional yang mencakup kepentingan semua golongan, all inclusive. Bahkan, dalam pencalonan pasangan Presiden-Wakil Presiden sudah disertai "kabinet atau pendukung-pundukungnya yang pluralistik", terdiri orang-orang nasionalis, technosoof, budayawan yang berperikemanusiaan, intelektual yang kritis bertanggung jawab, dan pengusaha yang tidak "hitam". Dari pendukung-pendukung ini disusun "suatu Kabinet" berdasarkan meritokrasi.

Kalau pasangan capres/cawapres independen itu ada, renungan berikutnya adalah: apakah pencalonan independen ini dapat terwujud? Jawabannya, tidak! Karena, terhambat Pasal 6A Ayat (2) UUD. Dapat dipastikan tidak ada partai politik atau gabungan partai politik yang mau mencalonkan calon independen ini. Partai-partai politik pasti akan amat disibukkan oleh calon-calon yang berasal dari tokoh-tokoh mereka sendiri.

***

Sebenarnya ada kemungkinan untuk melakukan terobosan yang mengakomodasi hasrat sehat rakyat. Kemungkinan pertama, dengan mengamandemen Pasal 6A Ayat (2) sehingga membuka peluang pencalonan independen pasangan capres/cawapres dengan tanpa tergantung dukungan partai atau gabungan partai politik. Tetapi ini bisa menjadi "lucu" terutama karena Pasal 6A Ayat (2) yang merupakan hasil amandemen, dan belum pernah dijalankan, sudah harus diamendir lagi. Bila ini dilakukan, itu hanya menunjukkan betapa lemah dan tidak tersistematiknya proses reformasi konstitusi yang dilakukan kini.

Kemungkinan terobosan yang lain adalah DPR dan Presiden berani membuat Undang-Undang Pemilu yang mengakomodasi keperluan pencalonan independen ini. Dasarnya, Negara RI adalah negara hukum; artinya hukum yang berdaulat, dan bagian dari hukum yang berdaulat adalah undang-undang. Apalagi diingat, sistem MPR sudah ditinggalkan UUD yang telah diamandemen. Ini membutuhkan bukan saja kemauan tetapi lebih dari itu, keberanian DPR dan Presiden untuk menyerap dan memenuhi hasrat sehat publik Indonesia. Bila kemauan dan keberanian ini tidak ada, inilah nasib demokrasi kita!

Persoalan terkait yang perlu juga menjadi bahan perenungan kita, kapan seyogianya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dilaksanakan. Jika kita konsisten dan patuh dengan UUD yang kita miliki kini, jelas dinyatakan, Presiden dan Wakil Presiden secara sepasang dipilih langsung rakyat (Pasal 6A Ayat 1). Bukankah UUD 1945 yang telah diamandemen tiga kali ini sudah berlaku? Jadi adanya pemikiran bahwa kini belum waktunya dilaksanakan atau supaya ditunda berlakunya pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung, apa pun alasannya, adalah bertentangan dengan UUD.

Demikian pula, pemikiran yang berkembang mengenai perlunya Sidang Tahunan (ST) MPR mendatang, merumuskan pasal peralihan dalam UUD 1945 yang diamandemen, tentang pernyataan bahwa UUD 1945 yang sudah diamandemen I, II, III (dan mungkin IV) itu baru berlaku sesudah tahun 2004, tampaknya hanya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, kalaupun bukan oportunistik. Jika ini diterima ST MPR nanti, yang akan terjadi adalah ketidakadilan konstitusional, terutama bagi mereka yang sudah terkena akibat dari pelaksanaan pasal-pasal UUD yang sudah diamandemen, seperti nasib calon-calon duta besar yang sudah ditolak DPR berdasarkan Pasal 13 Ayat 2. Ini bila tidak mendapat koreksi hanya melanggengkan ketidakpastian/kesemrawutan konstitusi di Indonesia.

Begitu pula dalam semangat bahwa presiden/wakil presiden dipilih langsung rakyat, maka masuk akal bila putaran kedua juga dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan PDI-P yang menerima usulan bahwa putaran kedua pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung dikembalikan kepada pemilih (rakyat) (Kompas, 9/7/2002), makin memberi kepastian pelaksanaan UUD secara konsekuen. Gagasan untuk menyerahkan putaran kedua pemilihan langsung pasangan presiden/wakil presiden kepada MPR, bertentangan sebenarnya dengan semangat UUD itu sendiri yang memberikan kepada MPR otoritas hanya untuk "seremoni" melantik presiden/wakil presiden terpilih.

========================================================================================

Pilkada Harus Buka Calon Independen

Jakarta, Kompas - Rencana Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dalam membuat aturan soal pencalonan kepala daerah dengan sistem satu pintu melalui partai politik kini menuai kritik. Aturan seperti itu, selain mempersempit ruang calon independen, juga akan mengekalkan penyelenggaraan pemerintah daerah yang kotor.

Pengamat politik dari Pusat Studi Pengembangan Kawasan Laode Ida yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih dari Sulawesi Tenggara termasuk yang tidak setuju. "Dengan hanya satu pintu parpol, maka jelas parpol-lah yang akan sangat menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Figur-figur non-partai politik kendati memiliki kapasitas memadai tak akan dapat ruang untuk masuk ke dalamnya," tuturnya, Rabu (4/8).

Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) Deddy Supriady Bratakusumah juga menyatakan ketidaksetujuan dengan sistem satu pintu. "Kenyataan menunjukkan calon independen merupakan alternatif bagi mereka yang ’bukan simpatisan parpol’ dan mereka yang tidak sama ideologinya dengan parpol yang ada," paparnya.

Atas dasar itu, menurut Deddy, pencalonan kepala daerah harus dilakukan dengan sistem dua pintu, melalui pintu parpol dan pintu independen. Kita juga sudah memiliki pengalaman dalam pemilihan anggota DPD. Pencalonan pintu independen langsung disampaikan ke panitia pemilihan kepala daerah.

Politik uang

Seperti diberitakan, dalam rapat Panitia Kerja terakhir, semua fraksi di DPR cenderung sepakat dengan pencalonan kepala daerah melalui satu pintu, parpol atau gabungan parpol.

Laode menilai, pencalonan pilkada melalui pintu parpol, akan melemahkan parpol. Soalnya, parpol tak akan memiliki kompetitor pengimbang dari luar. "Ini tidak akan menyehatkan parpol," ucap Laode.

Masyarakat pun "dipaksa" untuk memilih para calon kepala daerah yang diajukan parpol meskipun para calon itu merupakan orang-orang yang "busuk". Politik uang yang sekarang banyak terjadi dalam proses pilkada akan terus berlangsung. Parpol yang telah menyiapkan diri sebagai kendaraan politik akan "disewa" calon indendepen yang punya banyak uang. (sut)

=================================================================

Calon Independen Harus Diperjuangkan
Senin, 11/06/2007

Gagal mengizinkan calon independen menjadi kontestan merupakan bencana bagi Pilkada DKI jika dilihat dari perkembangan demokrasi. Secara lebih luas,juga menandakan beratnya jalan ke arah demokrasi selama elite politik masih berpikir defensif.

Politik DKI belum digunakan untuk menampung keinginan orang biasa.Partai politik menjadi oligarki untuk mempertahankan kekuasaan. Secara lebih skeptis, bisa dikatakan reformasi akan mandek karena hasil korupsi pemegang kekuasaan akan dilindungi terus oleh elite politik. Bila pemegang kekuasaan di suatu daerah tingkat I digantikan oleh yang baru, bisa ada harapan gubernur baru melakukan gerakan pembersihan pada awal masa jabatannya. Sebaliknya, bila pilkada menghasilkan gubernur yang satu kubu dengan gubernur lama, dengan sendirinya korupsi akan dibiarkan. Seorang penguasa baru dari kubu incumbent tidak berkepentingan melakukan pembersihan.

Mana bisa, karena yang harus dibersihkan itu justru senior yang menjadi sponsor kemenangan calon gubernur itu menjadi gubernur baru. Pilkada DKI sempat dihangatkan ketika beredar pikiran bahwa perlu ada calon ketiga, saat tahap pencalonan kelihatan akan mandek pada dua calon. Berbagai lembaga survei mengumumkan temuan bahwa lebih dari 70% pemilih menginginkan ada calon ketiga.Tidak dilaporkan lebih lanjut mengapa banyak keinginan ini.

Tapi sangat jelas salah satu sebabnya adalah kedua calon yang mapan itu tidak menarik untuk dipilih rakyat. Mengapa tidak? Cagub Fauzi Bowo adalah wakil gubernur incumbent yang didukung oleh Gubernur Sutiyoso. Kalau calon ini tampak kuat karena dari awal pemerintahan DKI dipakai sebagai mesin kampanye. Semua yang memerlukan dukungan gubernur digiring untuk mendukung Fauzi Bowo. Ini berlaku baik bagi perusahaan dagang yang diminta diamdiam untuk menyumbang dana kampanye sampai kepada stasiun televisi yang tidak berani berbeda pendapat sama sekali dengan gubernur dan wakil gubernur. Kasus penggunaan dana APBD untuk poster dan iklan kampanye gubernur hanya puncak gunung es berupa penyelewengan fasilitas pemerintah daerah untuk kampanye politik.

Fauzi Bowo adalah orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman lama, sayang kapabilitas itu tidak dipakai. Keahlian yang dipakai bukan dalam pemerintah kota, tapi justru dalam pemanfaatan birokrasi dan uang. Pakar pemerintahan daerah dan komunikasi direkrut menjadi penasihat dan pelindung kampanye terselubung. Aneh sekali kalau Fauzi Bowo tidak menang. Suasana DKI di bawah Sutiyoso mirip dengan suasana Indonesia di bawah Orde Baru.Tidak ada pilihan masyarakat di luar yang diinginkan rezim berkuasa. Kita bisa mengatakan itu karena asumsi kita masyarakat sebagian besar tergantung pada kekuasaan gubernur.

Muncul calon kedua,Adang Daradjatun, yang sebetulnya memberikan angin segar karena dia dan pendukungnya termasuk sedikit orang yang tidak tergantung dan tidak takut pada kekuasaan gubernur sekarang.Apalagi, Adang Daradjatun bersikap terbuka dan responsif, rajin tampil di muka umum, bahkan di acara televisi kritis di mana Fauzi Bowo tidak berani muncul. Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan, mengapa dia begitu percaya diri, tidak tergantung pada fasilitas siapa pun. Beredarlah cerita, calon ini telah mengumpulkan uang banyak dan menyumbangkan uang dalam jumlah puluhan miliar kepada partai yang dipilihnya sebagai pendukung.

Susah juga diperoleh keterangan yang pasti,sebab menanyakan hal begitu dianggap tidak sopan dan mengeluarkan sinyalemen akan langsung diblokir oleh tantangan untuk mengeluarkan bukti. Lagipula, Adang menggunakan cara kampanye yang santun dan menunjukkan penghormatan kepada publik. Untuk sementara, fokus lebih ditujukan pada Fauzi Bowo dan Sutiyoso yang jelas melanggar etika komunikasi publik dengan berbagai taktik,mulai dari menyelundupkan orang ke dalam acara sosialisasi pilkada, menyewa pakar dengan ilmu yang menyesatkan,dan menghindari semua kesempatan untuk tampil dengan idenya. Orang banyak yang tahu Fauzi Bowo, dari wajahnya dan kumisnya yang khas, dan juga tahu dia rajin datang ke acara massal dan membagikan hadiah.Tapi tidak ada yang tahu apa programnya kalau jadi gubernur.

Anak buahnya pernah mengatakan Fauzi akan melanjutkan kebijakan Sutiyoso. Itu tidak mendapat sambutan hangat karena kebijakan sekarang justru menghasilkan penderitaan.Tapi kalau Fauzi mau bilang bahwa dia akan melakukan perombakan, tidak berani juga. Soalnya, Sutiyoso tidak merasa ada yang salah. Dia selalu menekankan bahwa hanya dia yang tahu cara memerintah DKI. Menghadapi bonek, harus dengan cara yang sama keras, merupakan parafrase dari ucapan kegemarannya.

Pemilih Mulai Malas

Pemilih mulai malas.Fauzi Bowo pasti akan jadi calon dan calon lawannya pasti Adang Daradjatun. Orang belum cukup lama mengenal Adang. Dari mana uangnya yang banyak itu? Apa dia korupsi selama menjadi orang kedua di Kepolisian RI? Katanya uangnya dari istrinya yang menjadi pengusaha.Menimbulkan pertanyaan juga. Usaha apa? Apakah suksesnya karena dia istri pejabat tinggi kepolisian? Walaupun tidak ditanyakan secara terbuka, pertanyaan tetap beredar.Harusnya ada yang menasihati Adang Daradjatun agar secara sukarela membeberkan kondisi keuangannya dan hubungannya dengan keuangan PKS. Dengan demikian, isu itu bisa hilang dari Pilkada.

Tapi kalaupun hilang isu itu, ada isu yang lain, yaitu masalah ideologi partai dan ideologi pribadi. Sebagai polisi, Adang harus bersikap sekuler, memisahkan negara dan agama.Moralitas pribadi harus diserahkan pada masingmasing individu.Negara hanya masuk di mana jelas ada rumus hukum. PKS mempunyai ideologi yang bertolak belakang. Justru kader mereka memandang dirinya sebagai pejuang partai bersih yang ingin menegakkan moralitas masyarakat melalui moralitas pribadi. PKS tidak mau memisahkan soal agama dengan soal negara.

Pribadi, negara, agama, harus disatukan menurut konsep mereka. Kalau mereka tidak melakukan itu, maka sifatnya adalah kompromi. Jadi, kalau PKS menyetujui Adang Daradjatun dalam ucapan terkenalnya bahwa dia tidak akan melarang kehidupan malam yang tidak halal, maka pasti persetujuan PKS itu taktis, sementara, dan tidak tulus. Ada kerawanan dalam hubungan Adang Daradjatun dengan PKS, dan sayang sekali kalau DKI harus menghadapi masalah semacam itu di samping masalah banjir, orang miskin,kemacetan lalu lintas,hak atas tanah, dan kaki lima.

Deadlock

Di antara dua calon itu, pemilih DKI menghadapi deadlock. Kedua kontestan akan main defensif, tidak akan ada yang maju dengan pemikiran baru untuk perbaikan kota.Hanya menunggu lawannya ambil langkah. Karena itu, rakyat DKI perlu calon ketiga,Tapi PAN dan PKB dan partai kecil melepaskan kesempatan menjadi penyelamat, dan sekarang satusatunya harapan adalah calon independen. Mahkamah Konstitusi tidak menyambut sejarah,tidak membuka kesempatan untuk mendukung adanya calon independen.Jadi orang sudah tidak tahu lagi,apa yang bisa dilakukan secara aktif. Secara pasif, orang bisa menyatakan kekecewaannya dengan tidak memilih.

Tapi itu bukan solusi yang membangun demokrasi. Bagaimanapun, calon independen harus diperjuangkan. Menang atau kalah, itu bukan soal. Jangan biarkan dua calon ini bersaing tanpa partisipasi pemilih. Dan jangan biarkan partai politik mencuri hasil reformasi 1998 dan menggantinya dengan kekuasaan baru oligarki politik.(*)

Wimar Witoelar Mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Pengelola perspektif.net


Saturday, June 9, 2007

Pentingnya RUU Anti KDRT

PENTINGNYA
RUU ANTI Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pasal 356 KUHP yang memberikan tambahan hukuman 1/3 bagi pelaku penganiayaan terhadap anak, istri, ibu dan bapak –yang kemudian dalam pasal 487 RKUHP ditambah kata suami--, adalah pasal yang selama ini dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban KDRT, hal mana mendorong aktifis perempuan mengusulkan RUU tensendiri.

Kelemahan-kelemahan mendasar dalam KUHP’ sehingga perlu adanya RUU anti KDRT, sbb:
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum; sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat.



RUU anti KDRT menambahkan asas-asas baru dalam hukum pidana yang selama ini tidak dimuat dalam KUHP, yakni: a) perlindungan dan penegakan HAM b)kesetaraan dan keadilan jender; c) Keadilan relasi sosial dan perlindungan bagi korban.
KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam RUU Anti KDRT , sbb:

a. Pasal 351- 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik.

b. Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul., belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU Anti KDRT, sbb:

- Pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan atau penetrasi penis seperti menggunakan benda atau alat atau dengan bagian-bagian tubuh tertentu di luar penis, atau dengan cara menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan, sebagai bentuk perkosaan.

- Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang.


c. KUHP juga tidak mengatur tindakan kekerasan seksual berupa penyerangan seksual (seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa namun perkosaan itu tidak sampai terjadi). Dalam KUHP, tindakan ini di tempatkan sebagai percobaan semata berdasarkan Pasal 53 KUHP. Dan dalam prakteknya jarang pelaku perkosaan --yang tidak sampai menyelesaikan perbuatannya— bisa dijerat dengan pasal ini, tetapi lebih dikenakan pada pasal perbuatan cabul yang hukumannya dalam prakteknya selalu lebih ringan, terlebih lagi esensi perbuatan cabul tidak sama dengan perkosaan.


d. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”. Tidak menggunakan / memakai istilah seksual violence atau kejahatan seksual yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan.


e. Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama, atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).


f. Pasal 442 KUHP mempidana mereka yang menelantarkan orang-orang yang menurut hukum wajib ia beri nafkah, dirawat dan dipelihara. Sekalipun demikian, pasal ini barulah mengatur satu aspek saja dari definisi kekerasan ekonomi yang dimuat dalam RUU anti KDRT.


g. Pasal 465 tentang penyanderaan dan pasal 470 perampasan kemerdekaan seseorang, dianggap telah menampung kekerasan psikis yang diajukan dalam RUU Anti KDRT. Kenyataannya kedua pasal tersebut hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan perampasan), sementara definisi kekerasan psikis yang termuat dalam RUU anti KDRT lebih luas, karena yang dicantumkan adalah akibatnya (secara psikis), tetapi perbuatannya bisa mewujud dalam berbagai bentuk.


h. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga sebagaimana yang diajukan dalam RUU Anti KDRT.


i. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, hal mana membuat dilema tersendiri bagi korban.


j. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi.


k. Pasal 351-356 KUHP (pasal penganiayaan) hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda. Selain itu, penghukuman penjara sering membuat dilemma tersendiri bagi korban, karena adanya ketergantungan ekonomi dan sosial pada pelaku, sehingga korban cendrung untuk tidak melaporkan.


Sementara RUU KDRT memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan tujuannya juga meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat ringan dan beratnya tindak KDRT.

RUU KDRT adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga memuat unsure-unsur lex special. Unsur-unsur lex special terdiri dari :

Unsur korektif terhadap pelaku. RUU KDRT mengatur alternatif sanksi dari pada KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak kekerasan.

Unsur preventif terhadap masyarakat. Keberadaan RUU KDRT ditujukan untuk mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga, karena selama ini masalah KDRT dianggap masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di intervensi.

Unsur Protektif terhadap korban. RUU KDRT memuat pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubungan-hubungan domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi (kelompok rentan).

Adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU mencantumkan mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang pokok-pokoknya, sbb:

Kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban

Perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku

Bantuan hukum bagi korban

Perlindungan saksi

Prosedur alternatif pengajuan tuntutan

Prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban. kesaksian korban dapat dipakai dan diperkuat oleh keterangan ahli maka perkara bisa terus diajukan hingga ke penuntutan

Alat pembuktian menerapkan pula visum psikiatrikum

Penanganan secara integratif/terpadu dari instansi hukum, instansi medis atau instansi pemerintah lainnya dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan



ARGUMENTASI MENENTANG GAGASAN tentang KODIFIKASI HUKUM

(KUHP / KUHAP)

Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.

Pentingnya keberadaan RUU KDRT dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni berpegang pada adagium lex priori: hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau aturan yang lama. Dan lex spesialis derogat legi generalis: hukum atau aturan yang bersifat khusu mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum.

Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945, Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


KUHP dan KUHAP sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT. Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis kelaminnya. KUHP maupun KUHAP sama sekali tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarkhi dan feudal serta adanya perbedaan kelas/status sosial yang membuat adanya ketimpangan dalam hubungan sosial, terutama dalam relasi-relasi domestik. Aturan-aturan tsb mengandaikan setiap orang sama mampu dan berdayanya untuk memperoleh keadilan hukum.

Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT, menghadapi berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti:

Tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga.

Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang di persalahkan karena tidak becus mengurus suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’.

Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status sosialnya sebagai kepala keluarga.

Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan bagaimana anak-anak?

Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya sebagai masalah privat. Tidak semua kepolisian ada RPK-nya.

Berani melapor, direspon oleh polwan di RPK, tapi ternyata sulit untuk membuktikan kekerasan yang dialaminya (terbentur KUHAP).

Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.



PIDANA KERJA SOSIAL

Dalam konsep Rancangan KUHP baru Indonesia [Naskah Rancangan KUHP (Baru) Buku Kesatu-Buku Kedua dan Penjelasannya, yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, Departemen Kehakiman RI], Pidana Kerja Sosial diatur dalam Pasal 75:

(1) Dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan atau denda tidak melebihi Kategori I, maka ia dapat mengganti pidana kerja sosial yang sifatnya tidak dibayar (tidak diberi upah).

(2) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, Hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a.Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan.

b.Usia layak kerja terpidana menurut Undang-undang.

c.Persetujuan terpidana, sesudah Hakim menjelaskan tujuan dan segala hal yang

berkaitan dengan pidana kerja sosial.

d.Riwayat sosial terpidana.

e.Pidana Kerja Sosial tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik

terpidana.

f.Pidana Kerja Sosial tidak boleh dikomersialkan.

g.Dalam hal Pidana Kerja Sosial dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda, maka

sebelumnya harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu

membayar denda tersebut.

(3) Pidana Kerja Sosial dikenakan paling lama 240 jam, untuk terpidana yang telah berumur 18 tahun, dan 120 jam untuk terpidana yang berumur di bawah 18 tahun, dan paling pendek 7 jam.

(4) Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan, dengan memperhatikan kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lainnya yang bermanfaat.

(5) Apabila terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasa yang wajar, maka Hakim dapat memerintahkan terpidana untuk:

a.Mengulangi seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial tersebut, atau

b.Menjalani seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial yang digantikan oleh Pidana

Kerja Sosial tersebut, atau

c.Membayar seluruhnya atau sebagian Pidana Denda yang tidak dibayar yang

digantikan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut, atau menjalani Pidana Penjara

sebagai pengganti Denda yang tidak dibayar.



Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Rancangan KUHP Baru, Pidana Kerja Sosial dapat dijatuhkan dalam hal:

1. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan. Dengan demikian dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara lebih dari 6 bulan, maka Pidana Kerja Sosial tidak dapat dijatuhkan.

2. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Denda yang tidak melebihi Kategori I.



Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Baru:

Dalam hal Hakim akan menjatuhkan Pidana Kerja Sosial perlu diperhatikan berbagai hal. Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan agar Pidana Kerja Sosial dapat benar-benar dapat dijalankan.



Bertolak dari berbagai keistimewaan Pidana Kerja Sosial tersebut, sekalipun merupakan suatu “Pidana”, Pidana Kerja Sosial tidak bersifat forced labour. Pidana Kerja Sosial merupakan bentuk Pidana yang sarat dengan muatan perlindungan hak asasi manusia.

Karenanya Pidana Kerja Sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana (perampasan kemerdekaan) yang ditawarkan dalam pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Labels: ,

Sekilas Tentang UU Penghapusan KDRT

Sekilas TENTANG UNDANG - UNDANG
PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Berdasarkan hasil Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 14 September 2004, telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Berikut adalah poin-poin penting yang diatur dalam Undang Undang ini.

1. Apa sih Kekerasan dalam Rumah Tangga itu?

Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

2. Siapa saja yang termasuk lingkup rumah tangga?

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
a. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

3. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?

Bentuk-bentuk KDRT adalah (Pasal 5):
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan psikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga

4. Apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik?

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).

5. Apa yang dimaksud dengan kekerasan psikis?

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7)

6. Apa yang dimaksud kekerasan seksual?

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8):
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

7. Apa yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga?

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

8. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai hak-hak korban?

Tentu. Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani

Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.

9. Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?

Ya. Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.

10. Bagaimana dengan kewajiban masyarakat?

Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).

11. Bagaimana dengan ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku?

Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 – pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja.
Meskipun demikian, ada dua pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.

Pasal 47: “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000 atau denda paling banyak Rp 300.000.000”

Pasal 48: “Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak Rp 500.000.000”

12. Bagaimana mengenai pembuktian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

Dalam UU ini dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (pasal 55).
Alat bukti yang sah lainnya itu adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Labels: ,

Saturday, June 2, 2007

Apa Itu Komnas HAM?



Tentang Komnas HAM

Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Komnas HAM bertujuan : a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
b meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Komnas HAM mempunyai kelengkapan yang terdiri dari Sidang paripurna dan Subkomisi. Di samping itu, Komnas HAM mempunyai Sekretariat Jenderal sebagai unsur pelayanan.

SIDANG PARIPURNA a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
b meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

SUBKOMISI

Sejak berdirinya pada 1993 hingga awal Juni 2004 kegiatan Komnas HAM dilaksanakan oleh Subkomisi yang dibentuk berdasarkan fungsi Komnas HAM, yakni Subkomisi Pengkajian dan Penelitian, Subkomisi Penyuluhan, Subkomisi Pemantauan, dan Subkomisi Mediasi. Kemudian, Sidang Paripurna Komnas HAM dalam rapatnya 2-3 Juni 2004 memutuskan melakukan restrukturisasi Subkomisi Komnas HAM. Subkomisi yang direstrukturisasi tidak lagi didasarkan pada fungsi Komnas HAM melainkan pada kategori HAM dan kelompok dalam masyarakat yang perlindungan hak asasi manusianya perlu mendapat perhatian khusus.

Subkomisi menurut struktur baru ini adalah sebagai berikut :

1. Subkomisi Hak Sipil dan Politik;
2. Subkomisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
3. Subkomisi Perlindungan Kelompok Khusus

Menurut struktur baru tersebut masing-masing subkomisi melaksanakan keempat fungsi Komnas HAM yakni pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam pengkajian dan penelitian,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
b. Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan, dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia;
c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
d. Studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding di negara lain mengenai hak asasi manusia;
e. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia; dan
f. Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam penyuluhan,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat Indonesia;
b. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya; dan
c. Kerja sama dengan organisasi, lembaga, atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam bidang pemantauan,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia;
c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan; dan
h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.


Untuk melaksanakan fungsi Komnas HAM dalam mediasi,
Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan :

a. Perdamaian kedua belah pihak;
b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;
c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. Ppenyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya; dan
e. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.


Landasan Hukum Komnas HAM
Pada awalnya, Komnas HAM didirikan dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang juga menetapkan keberadaan, tujuan, fungsi ,keanggotaan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM.
Di samping kewenangan menurut UU No 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan dikeluarkannya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM adalah lembaga yang berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat.
Instrumen Acuan
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang guna mencapai tujuannya Komnas HAM menggunakan sebagai acuan instrumen-instrumen yang berkaitan dengan HAM, baik nasional maupun Internasional.
Instrumen nasional:
a. UUD 1945 beserta amendemennya;
b. Tap MPR No. XVII/MPR/1998;
c. UU No 39 Tahun 1999;
d. UU No 26 tahun 2000;
e. Peraturan perundang-undangan nasional lain yang terkait.

Instrumen Internasional:
a. Piagam PBB, 1945;
b. Deklarasi Universal HAM 1948;
c. Instrumen internasional lain mengenai HAM yang telah disahkan dan diterima oleh Indonesia.




Awal Pembentukan (1993)

Pada tanggal 7 Juni 1993 Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto, lewat Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan pada saat yang sama menunjuk pensiunan Ketua Mahkamah Agung RI, Ali Said, untuk menyusun Komisi tersebut dan memilih para anggotanya. Keputusan Presiden ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai Departemen Luar Negeri RI dan PBB yang diadakan di Jakarta pada 22 Januari 1991.

Pada tanggal 7 Desember 1993, setelah melalui proses panjang perekrutan, akhirnya diperoleh 25 (dua puluh lima) nama yang merupakan figur nasional dan ditunjuk sebagai anggota KOMNAS HAM. Berdasarkan Keppres No. 455/M Tahun 1993, keduapuluh lima nama tersebut adalah:
1. Hj. Aisyah Amini, S.H.
2. Dr. Albert Hasibuan, S.H.
3. Ali Said, S.H.
4. Asmara Nababan, S.H.
5. Prof. Dr. Baharudin Lopa, S.H.
6. Drs. Bambang W. Soeharto
7. Dr. H. A.A. Baramuli, S.H.
8. Clementino Dos Reis Amaral
9. Ig. Djoko Moelyono
10. H.R. Djoko Soegianto, S.H.
11. Gani Djemat, S.H.
12. Prof. Dr. A. Hamid S. Attamimi, S.H.
13. K.H. Hasan Basri
14. Prof. Dr. Ch. Himawan, S.H.
15. B.N. Marbun, S.H.
16. Marzuki Darusman, S.H.
17. Prof. Miriam Budiardjo, M.A.
18. Prof. Dr. Muladi, S.H.
19. Munawir Sjadzali, S.H.
20. Dr. Nurcholis Madjid
21. Dra. Roekmini Koesoemo Astoeti
22. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
23. Soegiri, S.H.
24. Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, M.P.A
25. Prof. Dr. H.R. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H.

Pada tanggal 10 Desember 1993 dalam rapat pleno pertama, terpilih Ali Said sebagai Ketua, Miriam Budiardjo dan Marzuki Darusman sebagai Wakil Ketua. Sekretaris Jenderal dijabat oleh Baharudin Lopa. Hasil pleno ini dikukuhkan dengan Keppres No.476/M Tahun 1993.

Pada tanggal 3 Januari 1994, Komnas HAM mengadakan sidang pleno kedua yang menghasilkan susunan kepemimpinan, pembagian kerja, dan bagan organisasi KOMNAS HAM.

Pembagian Kerja KOMNAS HAM

Pelaksanaan kegiatan Komnas HAM dilakukan masing-masing oleh:
1. Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Masyarakat
Dengan tugas pokok: memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional, tentang konsep dasar hak asasi manusia lewat aparat pemerintah, lembaga swasta, pihak akademisi dan non akademik.
Bidang kerja: mencakup penyebarluasan hak asasi manusia, mengamati dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia.
Kegiatan tersebut terutama dilakukan lewat ceramah, seminar dalam berbagai kesempatan. Saat itu penerbitan bahan-bahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia masih dalam tahap persiapan , termasuk seri siaran lewat TV.
2. Sub Komisi Pengkajian Instrumen HAM
Tugas pokok: mengkaji berbagai perjanjian dan konvensi PBB dalam bidang HAM, yang selanjutnya diteruskan penanganannya kepada pihak yang berwenang.
Sampai saat itu Komnas HAM telah menyarankan kepada Pemerintah RI untuk menerima dan meratifikasi dua konvensi:
a). Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (CERD, 1965)
b). Konvensi Anti Penyiksaan (CAT, 1984)
3. Sub Komisi Pemantauan Pelaksanaan HAM
Tugas pokok: memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM di Indonesia secara aktif dan segera mengambil langkah-langkah pemulihannya.
Saat itu kegiatan yang dilakukan: menanggapi kasus pencabutan SIUPP majalah berita (termasuk Tempo) pada 22 Juni 1994.

Tugas pokok lainnya merupakan titik simpul kegiatan Komnas HAM, yaitu:
- memberikan pendapat, pertimbangan, dan saran kepada aparat pemerintah yang terkait atau kepada badan di mana terjadi pelanggaran HAM. Saat itu Komnas HAM meneruskan temuannya terkait kasus Marsinah kepada instansi penyidik yang menangani kasus tersebut.
- mengadakan kerjasama dengan badan-badan regional dan internasional yang mengembangkan dan melindungi HAM.



Visi dan Misi Komnas HAM

Visi Komnas HAM adalah:

Terwujudnya Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia bagi Semua

Misi Komnas HAM adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kinerja Komnas HAM menjadi lembaga yang profesional, berwibawa, dan dipercaya oleh masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
  2. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi terwujudnya perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dalam masyarakat yang terintegrasi agar mampu berpartisipasi di berbagai bidang kehidupan.
  3. Mengembangkan jaringan kerja sama dengan pemegang kepentingan (stakeholders)bagi perlindungan dan penegakan HAM.


Rencana Strategis 2004-2008

Komnas HAM telah menyusun Rencana Strategis Komnas HAM 2004–2008. Isu-isu strategis Komnas HAM 2004–2008 yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kinerja
Peningkatan mutu kinerja Komnas HAM agar kepercayaan publik meningkat.
2. Perlindungan dan penegakan HAM Peningkatan mutu pelayanan Komnas HAM terhadap korban pelanggaran HAM. Pencegahan, perlindungan, dan penyelesaian kasus HAM.
3. Penegakan hukum Rekomendasi kepada pemerintah untuk mengesahkan instrumen-instrumen HAM internasional. Pemantauan pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang telah disahkan pemerintah.
4. Pelembagaan
Fasilitasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang berbasis HAM (rights-based development).
5. Pemberdayaan
Diseminasi nilai-nilai HAM kepada masyarakat dan aparatur negara.
6. Jaringan
Perluasan, pemeliharaan, dan pengembangan jaringan pemegang kepentingan (stakeholders) lembaga dan pegiat HAM.

Tujuan Strategis Komnas HAM 2004–2008 adalah sebagai berikut:
1. Optimalisasi pelaksanaan fungsi dan tugas Komnas HAM, dengan menggunakan indikator yang menyangkut mutu pelayanan, sistem manajemen yang berbasis teknologi informasi, dan ketersediaan sumber daya organisasi yang memadai.
2. Terwujudnya kondisi yang kondusif bagi peningkatan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
a. terselenggaranya sistem peradilan yang kredibel;
b. terwujudnya perundang-undangan yang berorientasi pada perlindungan HAM;
c. terjadinya pemantapan peran dan fungsi perwakilan Komnas HAM di daerah;
d. tertanganinya pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights);
e. terdapatnya kriteria dan indikator pelanggaran HAM yang jelas bagi semua
pemegang kepentingan (stakeholders);
f. terjadinya percepatan pengesahan instrumen HAM internasional;
g. terselenggaranya pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan HAM secara berkelanjutan; dan
h. tercapainya rekonsiliasi dan perdamaian di daerah konflik.
3. Terciptanya sinergi antara Komnas HAM dan pemegang kepentingan (stakeholders) dengan menggunakan indikator yang menyangkut jaringan kerja sama, manajemen komunikasi dan informasi, serta keterlibatan aktif pemegang kepentingan (stakeholders) dalam penyelesaian permasalahan HAM.


Labels: