Jurnal Hukum

Saturday, June 9, 2007

Pentingnya RUU Anti KDRT

PENTINGNYA
RUU ANTI Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Pasal 356 KUHP yang memberikan tambahan hukuman 1/3 bagi pelaku penganiayaan terhadap anak, istri, ibu dan bapak –yang kemudian dalam pasal 487 RKUHP ditambah kata suami--, adalah pasal yang selama ini dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam prakteknya pasal tersebut memiliki kelemahan mendasar untuk melindungi korban KDRT, hal mana mendorong aktifis perempuan mengusulkan RUU tensendiri.

Kelemahan-kelemahan mendasar dalam KUHP’ sehingga perlu adanya RUU anti KDRT, sbb:
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat hukum; sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga atau menganggap hanya masalah rumah tangga sebagai masalah privat.



RUU anti KDRT menambahkan asas-asas baru dalam hukum pidana yang selama ini tidak dimuat dalam KUHP, yakni: a) perlindungan dan penegakan HAM b)kesetaraan dan keadilan jender; c) Keadilan relasi sosial dan perlindungan bagi korban.
KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam RUU Anti KDRT , sbb:

a. Pasal 351- 356 KUHP mengatur penganiayaan, yang berarti hanya terbatas pada kekerasan fisik.

b. Pasal 285 - 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul., belum sepenuhnya mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dimaksud dalam RUU Anti KDRT, sbb:

- Pasal tentang perkosaan (285) misalnya, masih mengeluarkan istri sebagai korban perkosaan dan belum mengakomodir bentuk-bentuk lain di luar persetubuhan atau penetrasi penis seperti menggunakan benda atau alat atau dengan bagian-bagian tubuh tertentu di luar penis, atau dengan cara menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar kehendak perempuan, sebagai bentuk perkosaan.

- Dalam pasal-pasal lainnya tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada istilah perbuatan cabul. Walaupun sebagian bentuk pelecehan seksual bisa ditemukan dalam pasal ini, namun karena istilah pelecehan seksual tidak dikenal dalam KUHP maka tidak seluruh bentuk-bentuk pelecehan seksual terakomodir di dalamnya. Definisi perbuatan cabul diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan atau rasa susila masyarakat, bukan pelanggaran atas integritas tubuh seseorang.


c. KUHP juga tidak mengatur tindakan kekerasan seksual berupa penyerangan seksual (seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa namun perkosaan itu tidak sampai terjadi). Dalam KUHP, tindakan ini di tempatkan sebagai percobaan semata berdasarkan Pasal 53 KUHP. Dan dalam prakteknya jarang pelaku perkosaan --yang tidak sampai menyelesaikan perbuatannya— bisa dijerat dengan pasal ini, tetapi lebih dikenakan pada pasal perbuatan cabul yang hukumannya dalam prakteknya selalu lebih ringan, terlebih lagi esensi perbuatan cabul tidak sama dengan perkosaan.


d. Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”. Tidak menggunakan / memakai istilah seksual violence atau kejahatan seksual yang diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan.


e. Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama, atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).


f. Pasal 442 KUHP mempidana mereka yang menelantarkan orang-orang yang menurut hukum wajib ia beri nafkah, dirawat dan dipelihara. Sekalipun demikian, pasal ini barulah mengatur satu aspek saja dari definisi kekerasan ekonomi yang dimuat dalam RUU anti KDRT.


g. Pasal 465 tentang penyanderaan dan pasal 470 perampasan kemerdekaan seseorang, dianggap telah menampung kekerasan psikis yang diajukan dalam RUU Anti KDRT. Kenyataannya kedua pasal tersebut hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan perampasan), sementara definisi kekerasan psikis yang termuat dalam RUU anti KDRT lebih luas, karena yang dicantumkan adalah akibatnya (secara psikis), tetapi perbuatannya bisa mewujud dalam berbagai bentuk.


h. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga sebagaimana yang diajukan dalam RUU Anti KDRT.


i. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, hal mana membuat dilema tersendiri bagi korban.


j. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi.


k. Pasal 351-356 KUHP (pasal penganiayaan) hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda. Selain itu, penghukuman penjara sering membuat dilemma tersendiri bagi korban, karena adanya ketergantungan ekonomi dan sosial pada pelaku, sehingga korban cendrung untuk tidak melaporkan.


Sementara RUU KDRT memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan tujuannya juga meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat ringan dan beratnya tindak KDRT.

RUU KDRT adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik secara khusus, sehingga memuat unsure-unsur lex special. Unsur-unsur lex special terdiri dari :

Unsur korektif terhadap pelaku. RUU KDRT mengatur alternatif sanksi dari pada KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku. Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak kekerasan.

Unsur preventif terhadap masyarakat. Keberadaan RUU KDRT ditujukan untuk mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga, karena selama ini masalah KDRT dianggap masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di intervensi.

Unsur Protektif terhadap korban. RUU KDRT memuat pasal-pasal yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubungan-hubungan domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi (kelompok rentan).

Adanya RUU anti KDRT menjadi penting, karena RUU mencantumkan mekanisme yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan korban, yang pokok-pokoknya, sbb:

Kewajiban masyarakat dan negara untuk melindungi korban

Perintah perlindungan terhadap korban serta perintah pembatasan gerak sementara terhadap pelaku

Bantuan hukum bagi korban

Perlindungan saksi

Prosedur alternatif pengajuan tuntutan

Prosedur pembuktian yang tidak mempersulit korban. kesaksian korban dapat dipakai dan diperkuat oleh keterangan ahli maka perkara bisa terus diajukan hingga ke penuntutan

Alat pembuktian menerapkan pula visum psikiatrikum

Penanganan secara integratif/terpadu dari instansi hukum, instansi medis atau instansi pemerintah lainnya dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan



ARGUMENTASI MENENTANG GAGASAN tentang KODIFIKASI HUKUM

(KUHP / KUHAP)

Pandangan yang menganggap semua masalah kejahatan harus diatur dalam suatu kodifikasi hukum seperti KUHP atau KUHAP adalah pandangan yang sempit dan ketinggalan zaman serta tidak sesuai dengan tuntutan yang ada. Karena pada era modernisasi dimana pembagian kerja semakin kompleks, kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan khusus yang bisa menjangkau permasalahan di lapangan semakin mendesak untuk segera diakomodir.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga perlu diatur secara khusus dalam sebuah UU, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.

Pentingnya keberadaan RUU KDRT dapat dijelaskan dalam prinsip hukum yakni berpegang pada adagium lex priori: hukum atau aturan yang baru mengalahkan hukum atau aturan yang lama. Dan lex spesialis derogat legi generalis: hukum atau aturan yang bersifat khusu mengalahkan hukum atau aturan yang bersifat umum.

Kekerasan dalam rumah tangga sudah merupakan perbuatan yang perlu dikriminalisasikan karena secara substansi telah melanggar hak-hak dasar atau fundamental yang harus dipenuhi negara seperti tercantum dalam pasal 28 amandemen UUD 1945, Undang-undang no. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againsts Women), dan Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


KUHP dan KUHAP sejauh ini terbukti tidak mampu memberi perlindungan bagi korban KDRT. Karena kedua aturan tersebut masih sangat umum, tidak mempertimbangkan kesulitan-kesulitan korban untuk mengakses perlindungan hukum, terutama karena jenis kelaminnya. KUHP maupun KUHAP sama sekali tidak mempertimbangkan konteks budaya patriarkhi dan feudal serta adanya perbedaan kelas/status sosial yang membuat adanya ketimpangan dalam hubungan sosial, terutama dalam relasi-relasi domestik. Aturan-aturan tsb mengandaikan setiap orang sama mampu dan berdayanya untuk memperoleh keadilan hukum.

Dalam konteks budaya patriarkhi, para perempuan korban KDRT, menghadapi berlapis-lapis hambatan untuk mengakses hukum, seperti:

Tidak mudah melaporkan kasusnya karena berarti membuka aib keluarga.

Ragu melaporkan karena bisa jadi ia yang di persalahkan karena tidak becus mengurus suami/keluarga, karena kata orang ‘tidak ada asap kalau tidak ada api’.

Takut melaporkan karena bisa memperparah kekerasan yang dialami. Suami semakin gelap mata kalau mengetahui istrinya berani melaporkan dirinya, yang berarti mencemarkan status sosialnya sebagai kepala keluarga.

Khawatir kalau melapor, ia akan dicerai dan menjadi janda. Bagaimana ia kelak dan bagaimana anak-anak?

Berani melapor ke polisi tapi ternyata respon aparat tidak serius karena menganggapnya sebagai masalah privat. Tidak semua kepolisian ada RPK-nya.

Berani melapor, direspon oleh polwan di RPK, tapi ternyata sulit untuk membuktikan kekerasan yang dialaminya (terbentur KUHAP).

Berani melapor dan ada bukti kuat, tetapi ancamannya pidana penjara. Berarti suami akan dikurung. Bagaimana nafkah keluarga? Sekolah anak-anak? Siapa yang akan menjamin biayanya? Sebab, selama ini baik sistem sosial dan hukum telah membuat ia (istri) tergantung secara ekonomi terhadap sang kepala rumah tangga.



PIDANA KERJA SOSIAL

Dalam konsep Rancangan KUHP baru Indonesia [Naskah Rancangan KUHP (Baru) Buku Kesatu-Buku Kedua dan Penjelasannya, yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993, Departemen Kehakiman RI], Pidana Kerja Sosial diatur dalam Pasal 75:

(1) Dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan atau denda tidak melebihi Kategori I, maka ia dapat mengganti pidana kerja sosial yang sifatnya tidak dibayar (tidak diberi upah).

(2) Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, Hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a.Pengakuan terpidana terhadap tindak pidana yang dilakukan.

b.Usia layak kerja terpidana menurut Undang-undang.

c.Persetujuan terpidana, sesudah Hakim menjelaskan tujuan dan segala hal yang

berkaitan dengan pidana kerja sosial.

d.Riwayat sosial terpidana.

e.Pidana Kerja Sosial tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama dan politik

terpidana.

f.Pidana Kerja Sosial tidak boleh dikomersialkan.

g.Dalam hal Pidana Kerja Sosial dijatuhkan sebagai pengganti pidana denda, maka

sebelumnya harus ada permohonan terpidana dengan alasan tidak mampu

membayar denda tersebut.

(3) Pidana Kerja Sosial dikenakan paling lama 240 jam, untuk terpidana yang telah berumur 18 tahun, dan 120 jam untuk terpidana yang berumur di bawah 18 tahun, dan paling pendek 7 jam.

(4) Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 bulan, dengan memperhatikan kegiatan-kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau kegiatan lainnya yang bermanfaat.

(5) Apabila terpidana gagal untuk memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasa yang wajar, maka Hakim dapat memerintahkan terpidana untuk:

a.Mengulangi seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial tersebut, atau

b.Menjalani seluruh atau sebagian Pidana Kerja Sosial yang digantikan oleh Pidana

Kerja Sosial tersebut, atau

c.Membayar seluruhnya atau sebagian Pidana Denda yang tidak dibayar yang

digantikan dengan Pidana Kerja Sosial tersebut, atau menjalani Pidana Penjara

sebagai pengganti Denda yang tidak dibayar.



Berdasarkan ketentuan Pasal 75 Rancangan KUHP Baru, Pidana Kerja Sosial dapat dijatuhkan dalam hal:

1. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Penjara tidak lebih dari 6 bulan. Dengan demikian dalam hal Hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan Pidana Penjara lebih dari 6 bulan, maka Pidana Kerja Sosial tidak dapat dijatuhkan.

2. Hakim mempertimbangkan akan menjatuhkan Pidana Denda yang tidak melebihi Kategori I.



Pasal 75 ayat (2) Rancangan KUHP Baru:

Dalam hal Hakim akan menjatuhkan Pidana Kerja Sosial perlu diperhatikan berbagai hal. Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan agar Pidana Kerja Sosial dapat benar-benar dapat dijalankan.



Bertolak dari berbagai keistimewaan Pidana Kerja Sosial tersebut, sekalipun merupakan suatu “Pidana”, Pidana Kerja Sosial tidak bersifat forced labour. Pidana Kerja Sosial merupakan bentuk Pidana yang sarat dengan muatan perlindungan hak asasi manusia.

Karenanya Pidana Kerja Sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana (perampasan kemerdekaan) yang ditawarkan dalam pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home